BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Dalam pergaulan sehari – hari antara kita sesama
Manusia, agar hubungan ini berjalan dengan baik tentu ada aturan yang harus
kita jalankan, bagi kita umat Islam tata cara bergaul tersebut telah diatur
dalam Alqur’an dan sunnah Rasulllah SAW yang sering kita sebut dengan Sifat
terpuji atau akhlak terpuji.
Akhlak
yang baik adalah fondasi agama dan merupakan hasil dari usaha orang-orang
bertakwa. Dengan akhlak yang baik, pelakunya akan terangkat ke derajat yang
tertinggi. Tidak ada amalan yang lebih berat dalam timbangan seorang muslim
dihari kiamat nanti dari pada akhlak yang baik.
Ada banyak sekali akhlak mulia yang dianjurkan oleh
Islam. Sedemikian kental warna akhlak mulia ini dalam Islam sampai-sampai
Rasulullah bersabda, “Sesungguhnya aku diutus hanya untuk menyempurnakan
akhlak-akhlak yang baik.” (Hadits shahih, riwayat Ahmad dan al-Hakim, dari Abu
Hurairah). Karena macam akhlak mulia yang sangat banyak, maka simpul dan
pengikat pun menjadi sangat penting, agar tidak lepas dan tercecer. Salah satu
simpul pengikatnya disebut dengan Muru’ah.
Pengarahan yang tepat ialah dengan
mengikuti contoh konkret lewat keteladanan Rasulullah saw. Dengan dukungan
orang tua dan pendidikan formal, insyaAllah akan memperkuat dasar akidah remaja
sehingga dia akan siap terjun dalam pergaulan masyarakat yang lebih luas. Dia
biasa menjalankan tanggung jawabnya terhadap diri sendiri dan lingkunganya yang
semuanya akan bermuara pada realisasi tanggung jawabnya kepada Allah swt.
Kemuliaan
Manusia di antara mahluk Tuhan lainnya terletak pada kebebasan dalam bertindak.
Jika malaikat terus beribadah tanpa pernah sela, itu bukan karena malaikat
tidak mau untuk tidak beribadah melainkan dia tidak mempunyai kemauan selain
kemauan untuk beribadah. Begitu juga setan, tidak dapat melangkah ke dalam
dunia baik karena dinding takdir yang telah ditetapkan Allah atasnya buah
kesombongan kepada diri sendiri.
B. Rumusan Masalah
1.
Apa pengertian Muru’ah dan
penjelasannya?
2.
Apa yang dimaksud dengan Hurriyah dan
penjelasannya?
3.
Apa hubungan Muru’ah dan Hurriyah?
4.
Bagaimana cara menanamkan muru’ah pada
peserta didik?
5.
Bagaimana cara menanamkan hurriyah pada
peserta didik ?
C. Tujuan
1. Dapat mengetahui pengertian muru’ah
dan penjelasannya.
2. Dapat mengetahui pengertian hurriyah
dan penjelasannya.
3.
Untuk
mengetahui hubungan muru’ah dan hurriyah.
4.
Agar
mengetahui cara menanamkan muru’ah pada peserta didik.
5.
Agar
mengetahui cara menanamkan hurriyah pada peserta didik.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
MURU’AH
1.
Pengertian
Muru’ah
Muru’ah adalah kata sifat yang diambil dari kata benda “Mar’u” yang
berarti manusia atau orang. Muru’ah pada mulanya berarti sifat yang dimiliki
oleh manusia. Sifat tersebutlah yang membedakan manusia dari hewan dan makhluk
lain pada umumnya[1].
Istilah ini dipakai dalam agama Islam dalam pengertian mengaplikasikan akhlak
yang terpuji dalam segala aspek kehidupan serta menjauhkan akhlak yang tercela
sehingga seseorang senantiasa hidup sebagai orang terhormat dan penuh
kewibawaan.
Menurut
beberpa tokoh pengertian muru’ah yaitu:
1.
Iman
Mawardi
Salah seorang tokoh mazhab Syafi’i menurutnya muru’ah
adalah :
“ Menjaga kepribadian atau akhlak yang paling utama sehingga
tidak kelihatan pada diri seseorang sesuatu yang buruk atau hina ”.
2.
Mausu’ah Fiqh al-Qulub
Muru’ah adalah:
“Mengerjakan segenap akhlak baik dan menjauhi segenap akhlak buruk. Menerapkan semua
hal yang akan menghiasi dan memperindah kepribadian, serta meninggalkan semua
yang akan mengotori dan menodainya.” Definisi ini mengisyaratkan bahwa semua
akhlak mulia bisa tertampung di dalamnya, sehingga cakupan Muru’ah pun menjadi
sangat luas.
3.
Abdullah
al-Anshari al-Harawi
Seorang tokoh mazhab Hambali, mengatakan, orang dikatakan
memiliki muru’ah apabila
akalnya dapat mengendalikan syahwatnya . Dari itu, al-Harawi menyimpulkan bahwa
muru’ah ialah “mengaplikasikan
akhlak yang terpuji dan menjauhi akhlak yang tercela dan hina”.
4.
Ibnu
Qayim al-Jauziah
Mengatakan bahwa muru’ah
berlaku pada perkataan, perbuatan, dan niat setiap orang. Orang yang dapat
memelihara perkataan, perbuatan, dan niatnya, sehingga senantiasa berjalan
sesuai dengan tuntunan agama, disebut orang yang memiliki muru’ah.
5. Al-Mawardi
Memandang bahwa sikap muru’ah
merupakan perhiasan pribadi seorang Muslim: Menjadi bukti keutamaan budi dan
menjadi tanda kemuliaannya. Al-Mawardi melihat ada dua hal yang mendorong
terlaksananya sikap muru’ah
pada diri seseorang yaitu :
a. Orang tersebut memiliki ketinggian
cita – cita
b. Orang tersebut memiliki kemuliaan
jiwa
2. Hakikat
Muru’ah
Hakikat muru’ah ialah
jika engkau membenci dua penyeru yang pertama dan memenuhi penyeru ketiga.
Kemanusiaan, keperwiraan dan kejantanan terjadi karena mengingkari dua penyeru
yang pertama dan memenuhi penyeru yang ketiga. Sebagian salaf berkata, “Allah
menciptakan para malaikat yang mempunyai akal dan tidak mempunyai syahwat,
menciptakan hewan yang mempunyai syahwat dan tidak mempunyai akal, dan
menciptakan manusia yang di dalam dirinya ada akal dan syahwat. Siapa yang
akalnya dapat mengalahkan syahwatnya, maka dia termasuk golongan malaikat, dan
siapa yang syahwatnya mengalahkan akalnya, maka dia termasuk golongan
binatang.”
Para fuqaha berkata tentang pembatasan muru’ah, “Maksudnya adalah pemakaian sesuatu yang
membaguskan hamba dan meninggalkan apa yang mengotori dan memperburuk dirinya.”
Ada pula yang mengatakan bahwa muru’ah adalah
menerapkan setiap akhlak yang baik dan menjauhi setiap akhlak yang buruk.
Hakikat muru’ah adalah
menghindari hal-hal yang rendah dan hina, baik perkataan, perbuatan maupun
akhlak. Muru’ah lisan
berupa perkataan yang manis, baik, lembut dan yang dapat memudahkan untuk
meraih hasil. Muru’ah akhlak
ialah kelapangannya dalam menghadapi orang yang dicintai dan dibenci. Muru’ah harta ialah
ketepatan penggunaannya untuk hal-hal yang terpuji, baik dalam pandangan akal,
tradisi maupun syariat. Muru’ah kedudukan
ialah menggunakan kedudukan itu untuk seseorang yang memerlukannya.
3.
Macam-Macam Muru’ah
Muru’ah adalah
menghindari hal-hal yang rendah dan hina, baik perkataan, perbuatan maupun
akhlak. Muru’ah dibagi dalam empat macam yaitu:
a. Muru’ah
lisan
Muru’ah lisan yaitu berupa perkataan yang manis, baik,
lembut dan yang dapat memudahkan untuk meraih hasil.
b. Muru’ah akhlak
Muru’ah akhlak ialah kelapangannya dalam menghadapi orang yang dicintai dan
dibenci.
c. Muru’ah
harta
Muru’ah harta ialah ketepatan
penggunaannya untuk hal-hal yang terpuji, baik dalam pandangan akal, tradisi
maupun syariat.
d. Muru’ah
kedudukan
Muru’ah kedudukan ialah menggunakan kedudukan itu
untuk seseorang yang memerlukannya.
4.
Dalil-Dalil Tentang Muru’ah
Islam mengajarkan muru’ah kepada setiap pemeluknya, hal
ini terlihat dari dalil-dalil dibawah ini, yaitu:
a.
Surat
al-A’raf ayat 33 yang artinya :
Katakanlah, “Tuhanku hanya
menharamkan perbuatan keji, baik yang tampak ataupun yang tersembunyi,
perbuatan dosa, melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar.”
b.
Surat
al-Imran ayat 139 :
“Dan janganlah kamu bersikap lemah,
dan jangan (pula) kamu bersedih hati,
padahal kamulah orang – orang yang paling tinggi (derajatnya) jika kamu orang –
orang beriman ”.
c.
Surat
an-Nazi’at ayat 40 – 41 :
d.
“ Dan
adapun orang – orang yang takut kepada kebesaran Tuhannya dan menahan diri dari
keinginan hawa nafsunya . Maka sesungguhnya surgalah tempat tinggal(nya)”.
e.
Hadits
Nabi yang menegaskan hal ini adalah :
Rasulullah Saw bersabda,“Kemuliaan
seseorang ialah (pada) agamanya dan Muru’ah (pada) akalnya dan keluhuran
akhlaknya” (HR. Ibnu Hibban, Hakim dan al-Baihaqi).[2]
5.
Derajat-Derajat Muru’ah
Ada tiga
derajat muru’ah, yaitu:
a.
Muru’ah
terhadap diri sendiri; yaitu mempertahankan dan melaksanakan akhlak yang mulia
dan menjauhi akhlak yang rendah dan tercela, kendatipun hanya diketahui oleh
diri sendiri sehingga hal demikian menjadi milik pribadinya ketika bergaul
dalam masyarakat. Misalnya, orang yang tetap menutup auratnya sekalipun berada
ditempat sepi .
b.
Muru’ah
terhadap sesama makhluk; yaitu senantiasa berakhlak luhur dan menjauhi akhlak
tercela ditengah khalayak ramai, sanggup menahan diri terhadap sesuatu yang
tidak disenangi dan dapat memetik mamfaat dari suatu keburukan yang timbul
ditengah masyarakat.
c.
Muru’ah
terhadap Allah SWT; yaitu merasa malu terhadap Allah SWT sehingga membuat
seseorang senantiasa berupaya melakukan segala perintah-Nya dan menjauhi segala
larangan-Nya .
Islam mengajarkan muru’ah kepada
setiap pemeluknya, seperti tercermin dalam al-Qur’an surat al-A’raf ayat 33
yang artinya :
Katakanlah, “Tuhanku hanya mengharamkan perbuatan
keji, baik yang tampak ataupun yang tersembunyi, perbuatan dosa, melanggar hak
manusia tanpa alasan yang benar.”
Demikian pula Allah berfirman dalam surat
al-Imran ayat 139 :
“Dan janganlah kamu bersikap lemah, dan jangan
(pula) kamu bersedih hati, padahal kamulah orang – orang yang paling tinggi
(derajatnya) jika kamu orang – orang beriman ”.
Dan di dalam ayat lain, Surat an-Nazi’at
ayat 40 – 41 :
Dan adapun orang – orang yang takut kepada
kebesaran Tuhannya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya . Maka
sesungguhnya surgalah tempat tinggal(nya).
Adapun Hadits Nabi yang menegaskan hal ini adalah
:
Rasulullah Saw bersabda,“Kemuliaan seseorang ialah
(pada) agamanya dan Muru’ah (pada) akalnya dan keluhuran akhlaknya” (HR. Ibnu Hibban, Hakim dan al-Baihaqi).
6. Penerapan Hak dan Kewajiban Terhadap Sifat Muru’ah
Sikap muru’ah tidak terlepas dari
penerapan, pemeliharaan hak dan kewajiban, baik berupa hak Allah Swt (Huquq
Allah), hak manusia (Huquq al-‘ibad), maupun hak bersama antara Allah SWT dan
manusia (Huquq al-Musytarakah).
a. Hak Allah SWT. Berupa hubungan
manusia dengan Allah dalam upaya mengagungkan-Nya dan menegakan syi’ar-Nya,
sebagaimana sholat, puasa, haji, zakat, dan amar ma’ruf nahi mungkar ataupun
mewujudkan manfaat umum yang dapat dirasakan oleh masyarakat banyak . contoh,
penegakan hukum dan pemeliharaan kesejahteraan umum(masyarakat) . Pelaksanaan hak – hak Allah itu merupakan
kewajiban bagi manusia .
b. Hak manusia. Berupa pemeliharaan kemaslahatan
seseorang, baik dalam bentuk umum . Seperti, memelihara kesehatan, anak, dan
harta dan lain – lain . Maupun dalam bentuk khusus seperti memelihara
kepentingan pembeli dan penjual (dalam perdagangan), hak ibu dalam mengasuh
anak, hak bapak menjadi wali, dsb .
c. Hak bersama antara Allah SWT dan manusia .
Berupa hak yang disatu sisi dapat dipandang sebagai hak Allah karena menyangkut
manfaat umum, tetapi disisi lain dapat pula dipandang sebagai hak manusia,
karena menyangkut pemeliharaan kemaslahatan seseorang (individu). Sebagai contoh : Hak Allah SWT ditempatkan pada hak manusia
atau sebaliknya . Seperti, Hak wali memaafkan seseorang dalam hukum qisas
(pembunuhan) . Disini sebenarnya, terdapat hak Allah SWT yaitu terpeliharanya
masyarakat dari kejahatan. Tetapi disisi lain terdapat pula hak wali (manusia)
yaitu memaafkan orang yang membunuh orang yang berada dibawah perwaliannya .
Dalam hal ini, ulama fiqih menetapkan bahwa hak manusia lebih dominan daripada
hak Allah didalam kasus tersebut. untuk itu seorang wali diberi hak untuk
memaafkan orang yang membunuh orang yang berada dibawah perwaliannya. Memelihara hak – hak tersebut sesuai dengan posisinya merupakan kewajiban
setiap muslim untuk menegakannya dimanapun ia berada .[3]
7. Pilar-pilar Muru’ah
Muru’ah itu mempunyai empat pilar,
yaitu berakhlak baik, dermawan, rendah hati, dan tekun beribadah.” (Sunan
al-Baihaqi, no. 21333). Bila kita
renungkan, ternyata keempat pilar tersebut menopang banyak sekali akhlak-akhlak
mulia yang lain, sekaligus menyingkirkan akhlak-akhlak buruk.
a.
Pertama-tama, jelas kunci Muru’ah adalah
memiliki tindak-tanduk dan kebiasaan yang baik. Tanpanya seseorang tidak pantas
menyandang sifat muru’ah, sebab seluruh bagian yang lain akan kehilangan induk.
Sebab, kebaikan dan keburukan itu selalu menarik akhlak sejenisnya untuk datang, sebagaimana dikatakan ‘Urwah bin
az-Zubair (ulama’ Tabi’in), “Bila engkau melihat seseorang melakukan kebaikan,
ketahuilah bahwa kebaikan itu memiliki saudara-saudara pada diri orang
tersebut. Bila engkau melihat seseorang melakukan keburukan, ketahuilah bahwa
keburukan itu mempunyai saudara-saudara pada diri orang tersebut. Karena
sesungguhnya kebaikan itu menunjukkan saudaranya, dan demikian pula keburukan
itu menunjukkan saudaranya." (Riwayat Abu Nu’aim
dalam al-Hilyah).
b.
Pilar kedua, yaitu
kedermawanan, sesungguhnya merupakan refleksi dari itsar (mengutamakan orang
lain), futuwwah (murah hati), tidak cinta dunia, saling menolong dalam
kebajikan dan takwa, mendatangkan kegembiraan kepada sesama, dsb. Menurut
al-Qur’an, manusia sebenarnya cenderung enggan melepaskan haknya kepada orang
lain, pelit, dan lebih senang jika diberi. Allah berfirman, “Dan manusia itu
menurut tabiatnya adalah kikir.” (QS. An-Nisa': 128).
Maka, kedermawanan adalah tindakan melawan nafsu-nafsu serakah,
egois, cinta dunia, dsb. Allah menyanjung orang-orang yang bisa melawan
kecenderungan negatif tersebut dalam QS. Al-Hasyr: 9, ketika mengisahkan
kedermawanan kaum Anshar kepada kaum Muhajirin. Senada dengan ini Allah
berfirman pula dalam QS. at-Taghabun: 16.
فَاتَّقُوا اللَّهَ مَا
اسْتَطَعْتُمْ وَاسْمَعُوا وَأَطِيعُوا وَأَنفِقُوا خَيْراً لِّأَنفُسِكُمْ وَمَن
يُوقَ شُحَّ نَفْسِهِ فَأُوْلَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
“Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu, dengarlah
serta taatlah, dan nafkahkanlah nafkah yang baik untuk (kemanfaatan) dirimu (di
dunia dan akhirat). Dan barangsiapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya,
maka mereka itulah orang-orang yang beruntung.”
c.
Untuk pilar muru’ah yang ketiga, yaitu
rendah hati (tawadhu’), kita bisa memahami betapa hebatnya akhlak ini dengan
merenungkan kisah Adam, Malaikat, dan Iblis sebagaimana disitir al-Qur’an.
Sungguh, kesombonganlah yang membuat Iblis menolak
bersujud kepada Adam. Ia merasa lebih baik dan lebih mulia, sehingga tidak mau
menghormati Adam. Allah pun murka kepada Iblis, melaknatnya, dan mengusirnya
dari surga. Sebaliknya, dengan rendah hati para malaikat serta-merta bersujud.
Qatadah berkata, “Iblis iri kepada Adam atas kemuliaan yang Allah berikan
kepada Adam. Dia berkata: ‘Aku tercipta dari api, sedangkan dia ini dari
tanah.’ Maka, awal mula dosa-dosa adalah kesombongan. Musuh Allah itu merasa
dirinya lebih hebat sehingga tidak mau bersujud kepada Adam.” (Riwayat as-Suyuthi dalam Tafsir ad-Durrul Mantsur, pada QS.
al-Baqarah: 34).
Dengan kata lain, ketawadhu’an akan menyemai
amal-amal shalih, sebagaimana kesombongan pasti membuahkan aneka dosa dan
maksiat. Di balik ketawadhu’an seseorang, ketika sikapnya ini benar-benar tulus
dan bukan topeng palsu, sebenarnya bersemayam banyak akhlak dan adab yang lain,
seperti muhasabah (introspeksi diri), gemar berlomba dalam kebaikan, tidak
mencari-cari aib orang lain, menghormati orang lebih tua, menyayangi yang lebih
muda, dsb.
d. Pilar terakhir Muru’ah adalah tekun beribadah. Bagian ini menyiratkan dua hal sekaligus.
Pertama, tidak ada keshalihan hakiki yang
tidak disertai dengan kedekatan kepada Allah, apalagi yang tanpa iman. Walaupun
seseorang telah menyempurnakan 3 pilar muru’ah yang lain, jika dia malas
beribadah, maka kebaikan-kebaikannya rawan tercemari oleh motif-motif yang
salah, sehingga sia-sia. Dengan ibadahlah maka hati seseorang akan lebih
terjaga.
Kedua,
ibadah akan mewariskan keteguhan hati dan kesabaran, sehingga mendatangkan
istiqamah. Dengan istiqamah diatas kebaikan, maka kehormatan seseorang terjaga,
dan inilah puncak muru’ah.[4]
B. HURRIYAH
1. Pengertian Hurriyah
Huriyyah
adalah konsep yang memandang semua manusia pada hakekatnya hanya hamba Allah
saja, sama sekali bukan hamba sesama manusia. Berakar dari konsep ini, maka
manusia dalam pandangan Islam mempunyai kemerdekaan dalam memilih profesi,
dalam memilih wilayah hidup, bahkan dalam menentukan pilihan agama pun tidak
dapat dipaksa, sebagaimana firman Allah dalam surat Al Baqarah ayat 256 :
Artinya : "Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama
(Islam); Sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat.
Karena itu barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah,
Maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang
tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui" (Q.S. Al
Baqarah: 256)
Dalam surat
Yunus ayat 99 y ang berbunyi:
Artinya: "Dan jikalau Tuhanmu menghendaki,
tentulah beriman semua orang yang di muka bumi seluruhnya. Maka apakah kamu
(hendak) memaksa manusia supaya mereka menjadi or ang-orang yang beriman
semuanya?" (Q.S. Yunus : 99)
Apalagi
dalam masalah pengelompokan politik dan organisasi sosial. Boleh saja orang
yang dianjurkan mengikuti suatu kelompok sosial maupun kelompok keagamaan,
namun tidak dengan paksaan, sebab pada hahekatnya hak untuk memaksa adalah
hanya wewenang Tuhan. Dalam hal perbudakan, konsep ini secara perlahan dan
bertahap sudah diterapkan dalam hukum Islam, dalam hal anjuran untuk
memerdekakan budak (hamba sahaya). Terbukti dengan banyak sekali kafarat
(tebusan dosa) yang pilihan pertamanya wajib memerdekakan hamba sahaya yang
muslim seperti kafaratnya berhubungan suami-isteri pada siang hari bulan Ramadhan,
kafarat dzihar (menyamakan isteri dengan ibu atau mahram lainnya dengan maksud
haram untuk digauli). Padahal waktu itu
perbudakan masih merupakan kondisi alami yang masih mendunia. Kalaupun Islam
mengharamkan perbudakan secara spontan dan tegas akan mengakibatkan kacaunya
sistem kehidupan dan ekonomi yang masih sangat bergantung pada perbudakan,
disamping pemberlakuan hukum Islam secara spontan dan tegas bertentangan dengan
prinsip syariat Islam yang tadarruj (bertahap) seperti tahapan pengharaman
khomer (minuman keras) dengan tiga tahapan yang direkam dalam al-Qur'an-dalam
berdakwah dan pemberlakuan sebuah hukum yang bertujuan untuk merubah kebiasaan
buruk suatu kelompok yang sudah mengakar dan membudaya. Berbeda dengan hukum
yang tidak bertujuan merubah kebiasaan buruk, maka pemberlakuannya secara
spontan dan tegas, seperti: sholat, puasa, zakat dan lain-lain. Dari konsep di
atas lahir beberapa kaidah fiqhiyyah seperti Al-Ashl Baroah Al-Dzimmah
yaitu pada dasarnya manusia adalah
bebas, tidak mempunyai tanggung jawab terhadap hak-hak orang lain. Adanya beban
tanggung jawab adalah karena adanya hak-hak yang telah dimiliki atau
perbuatan-perbuatan yang telah dia lakukan. Misalnya seorang terdakwa menolak
sumpah, tidak bisa dikenai hukuman, sebab menurut hukum yang asal ia bebas dari
tanggung jawab justru pendakwa yang harus angkat sumpah. Contoh lain seorang anak kecil yang baru
lahir, dia tidak mempunyai beban syara' sedikitpun, dia bebas untuk melakukan
sesuatu sampai dia baligh, dan baligh inilah merupakan batasan dari seorang bayi
untuk memperolaeh kewajiban yang bersifat syar'i, namun sebelum baligh
seseorang bebas untuk melakukan sesuatu sesuai dengan keinginannya. Apabila dia
masih belum cukup umur atau dipandang tidak kuat dalam menjalankan hukum
syar'i, maka ia tetap bebas dari tanggungan hukum syar'i, sebagaimana firman
Allah:
ﮭﻌﺳو ﻻإ ﺎﺴﻔﻧ
ﷲ ﻒﻠ ﻜﯾ ﻻ ﺎ
Artinya: Allah tidak membebani seseorang melainkan
sesuai dengan kesanggupannya.
2.
Hakikat
Hurriyah
Islam sangat menghormati dan memuliakan manusia dengan memberikan kebebasan
sepenuhnya untuk memilih, dalam semua aspek kehidupan tanpa terkecuali. Islam
mengharamkan pemaksaan seseorang untuk mengikuti ajarannya, meskipun yang
disampaikannya adalah kebenaran yang tidak diragukan. Karena pemaksaan
merupakan pelanggaran atas kemerdekaan manusia dan kehormatannya, disamping
tidak ada gunanya orang mengikuti dengan paksaan.
Ada banyak firman Allah s.w.t. tentang kemerdekaan atau kebebasan seorang
manusia dalam menjalani kehidupan ini. Mereka diberikan pilihan sepenuhnya
untuk memilih, jalan manakah yang akan mereka tempuh; baik atau buruk, benar
atau salah. Di antaranya adalah firman Allah s.w.t. yang artinya: “Bebuatlah
kamu, maka Allah, Rasul-Nya, dan Orang-orang beriman akan melihat perbuatanmu.” (QS.
At Taubah [9]: 105).
“Dan Kami telah menunjukkan kepadanya dua
jalan (untuk memilihnya). Tetapi Dia tiada menempuh jalan yang mendaki lagi
sukar.” (QS. Al-Balad [90]: 10-11).
“Tidak ada
paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); Sesungguhnya telah jelas jalan yang
benar daripada jalan yang sesat.” (QS. Al Baqarah [2]: 256).
Kebenaran itu
datangnya dari Tuhanmu; Maka Barangsiapa yang ingin (beriman) hendaklah ia
beriman, dan Barangsiapa yang ingin (kafir) Biarlah ia kafir.” (QS. Al
Kahfi [18]: 29).
Selain itu, setiap orang
dipersilahkan untuk menjalankan syariat agamanya. Kewajiban seorang muslim
hanyalah menyampaikan kebenaran dengan cara yang arif dan bijkasana. Allah
s.w.t. berfirman, “Untukmu agamamu, dan untukkulah agamaku.” (QS.
Al-Kaafiruun [109]: 6).
Nabi Muhammad s.a.w. bahkan dinasehati Allah s.w.t. untuk tidak memaksa
orang kafir beriman, “Dan jikalau Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman
semua orang yang di muka bumi seluruhnya. Maka apakah kamu (hendak) memaksa
manusia supaya mereka menjadi orang-orang yang beriman semuanya?.” (QS.
Yunus [10]: 99)
Hakikat kemerdekaan dalam Islam adalah terbebasnya manusia dari segala
bentuk ketergantungan dan belenggu kepada selain Allah s.w.t. Nilai-nilai
seperti ini dalam Islam dikenal dengan istilah kemurnian tauhid. Ketika hakikat
kemerdekaan adalah tauhid, maka untuk menilai sejauh mana seseorang, masyarakat
atau suatu negara telah merdeka, harus dilihat dari sejauh mana mereka masih
diperbudak oleh aturan, norma, adat istiadat yang bukan dari Allah, tetapi dari
bangsa asing, pemimpin diktator, atau oleh hawa nafsu mereka sendiri.
Dalam kerangka inilah Umar bin Khattab mengingatkan gubernurnya di Mesir,
Amru bin Ash, ketika puteranya memukul seorang kristen koptik, “Sejak kapan
kalian memperbudak manusia, padahal mereka dilahirkan oleh ibu mereka dalam
keadaan merdeka.” Kabarnya, Jean Jacques Rousseau pun mengutip kata-kata
ini.
Ali bin Abi
Thalib pun berwasiat kepada anaknya dengan wasiat emas, “Janganlah engkau
menjadi hamba orang lain, karena Allah telah menjadikanmu merdeka.”
Arti kemerdekaan semacam ini adalah penghambaan hanya kepada Allah. Karena
insan muslim tidak menjadi hamba kecuali hanya kepada Allah s.w.t. Ketika
manusia mengerti hakikat ini maka ia benar-benar merdeka, karena penghambaannya
kepada Allah membebaskan dirinya dari penghambaan kepada selain-Nya.
Tidak ada yang lebih membunuh kemerdekaan daripada menjadikan sebagian
manusia sebagai tuhan bagi sebagian yang lain, dalam kondisi seperti ini
manusia tidak bisa mengembalikan kemerdekaannya dan kehormatannya, kecuali jika
mereka menghancurkan tuhan-tuhan palsu itu, terutama dalam diri orang-orang
yang dianggap tuhan, padahal ia adalah manusia seperti mereka, tidak bisa
memberikan manfaat atau bahaya kepada dirinya, tidak juga menghidupkan,
mematikan dan membangkitkan.
Kemerdekaan pada hakikatnya, bukanlah semata-mata membebaskan diri dari
belenggu penjajahan pihak lain. Tetapi lebih dari itu, kemerdekaan yang hakiki
adalah kemampuan untuk membebaskan diri dari belenggu hawa nafsu.
Manusia yang merdeka adalah manusia yang mampu memerdekakan dirinya dari
berbagai penghambaan selain kepada Tuhannya. Seorang pejabat atau pemimpin yang
merdeka adalah pejabat/ pemimpin yang mampu membebaskan dirinya dari
ambisi-ambisi pribadi (dan keluarganya), dan hanya memikirkan kepentingan dan
kesejahteraan rakyatnya. Dia memandang jabatan itu sebagai amanat yang harus
dipertangungjawabkan. Seorang cendekiawan yang merdeka adalah yang selalu
menyuarakan kebenaran dan keberpihakan kepada masyarakat banyak. Ia tidak akan
melakukan upaya pembodohan kepada masyarakat, apalagi dengan menggunakan
dalil-dalil dan alasan-alasan yang sengaja didistorsikan atau disalahtafsirkan.
Seorang penegak hukum (hakim, jaksa, polisi maupun pengacara) yang merdeka
adalah orang yang memiliki komitmen kuat untuk menjadikan hukum yang benar
sebagai panglima. Asas keadilan dan obyektivitas akan benar-benar dijunjungnya.
Ia tidak akan berani mempermainkan hukum hanya karena iming-iming jabatan atau
materi. Hukum ditegakkan tanpa pandang bulu.
Seorang pegawai yang merdeka adalah orang yang berusaha mengoptimalkan
potensi dirinya untuk meraih prestasi kerja yang baik dan bermanfaat, dengan
landasan keikhlasan. Rakyat dan bangsa yang merdeka adalah rakyat yang kritis
dan bertanggungjawab terhadap keselamatan dan kemaslahatan bangsanya. Rakyat
yang merdeka tidak mudah diprovokasi oleh unsur-unsur yang tidak
bertanggungjawab yang bermaksud menjadikan mereka sebagai obyek perasan dan
kuda tunggangan.
Seorang muslim harus berlepas diri dari penghambaan kepada selain Allah.
Tidak cukup hanya sekedar ucapan bahwa tidak ada tuhan selain Allah s.w.t. Di
sinilah sebenarnya, inti kemerdekaan seorang muslim. Dalam kerangka ini, Ibnu
Rajab berkata, “Sesungguhnya hati yang memahami lâ ilâha illallâh, lalu
membenarkannya dengan penuh keikhlasan, maka akan tertanam kuat sikap
penghambaan hanya kepada Allah dengan penuh penghormatan, rasa takut, cinta,
pengharapan, pengagungan dan tawakkal, yang semua itu memenuhi ruang hatinya
dan disingkirkannya penghambaan kepada selain Allah dari para makhluk-Nya. Jika
semua itu terwujud maka tidak akan ada lagi rasa cinta, keinginan dan
permintaan selain apa yang dikehendaki Allah, serta apa yang dicintai-Nya dan
dituntut-Nya. Demikian juga akan tersingkir dari hatinya semua keinginan nafsu
syahwat dan bisikan-bisikan syaitan, maka siapa yang mencintai sesuatu atau
mentaatinya atau mecintai dan membenci karena sesuatu itu maka dia adalah
tuhannya, dan siapa yang mencintai dan membenci semata-mata karena Allah, ta’at
dan memusuhi karena Allah, maka Allah baginya adalah tuhan yang sebenarnya.
Siapa yang mencintai karena hawa nafsunya dan membenci juga karenanya, atau
ta’at dan memusuhi karena hawa nafsunya, maka hawa nafsu baginya adalah
tuhannya, sebagaimana firman Allah s.w.t, “Terangkanlah kepadaku tentang
orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai Tuhannya. Maka Apakah kamu dapat
menjadi pemelihara atasnya?”, (QS. Al Furqaan [25]: 43)
Sesungguhnya Islam lahir membawa misi kemerdekaan dan kebebasan, serta
ingin mengantarkan segenap manusia kembali kepada fitrah mereka yang suci. Misi
kemerdekaan dan kebebasan yang diperjuangkan oleh Islam merupakan inti dari
ideologi yang benar yaitu tahrîrul ‘ibad min ibâdatil ibâd ilâ ibâdati
rabbil ibâd (membebaskan manusia dari penghambaan dan ketergantungan kepada
sesama manusia menuju penghambaan kepada Tuhan sang pencipta). Allah
menyebutkan didalam Al-Qur'an, “Alif, laam raa. (ini adalah) kitab yang Kami
turunkan kepadamu supaya kamu mengeluarkan manusia dari gelap gulita kepada
cahaya terang benderang dengan izin Tuhan mereka, (yaitu) menuju jalan Tuhan
yang Maha Perkasa lagi Maha Terpuji. Allah-lah yang memiliki segala apa yang di
langit dan di bumi. dan kecelakaanlah bagi orang-orang kafir karena siksaan
yang sangat pedih.” (QS. Ibrahim [14]: 1-2)[5]
3. Macam-macam Hurriyah
Menurut
M.Tholhah Hasan, kurang lebih ada enam macam konsep kemerdekaan dalam Islam, yaitu:
a. Kemerdekaan
beragama
Al-Qur'an menegaskan
bahwa tidak boleh
ada pemaksaan dalam
beragama. Nabi SAW. Memperlakukan
golongan dzimmi dengan
menghormati keyakinannya.
Sebagaimana sabda beliau: "Bebaskan mereka
bersama kepercayaannya, hak mereka sesuai dengan agamanya, dan kewajiban mereka
sesuai dengan agamanya demikian pula kita (mukmin)". Nabi
juga menyuruh para
sahabat berdiri menghormati
jenazah Yahudi yang sedang
lewat, dan waktu
ada sahabat yang
menyangkalnya, maka beliau
menjawab: "Apapun agamanya, dia adalah manusia". Dalam suatu
keluarga, sebagaimana dalam
keluarga Jamal Mirdad
dengan Lidya Kandau yang
memiliki keyakinan yang
berbeda. Dalam keluaraga
yang mereka bina, tercermin
bahwa mereka memiliki
komitmen tidak akan
pernah mempermasalahkan
perbedaan keyakinan dalam
kehidupan berkeluarga,
artinya mereka memberikan kebebasan untuk memeluk agama.
Hal ini
terbukti dengan perkawinan mereka
yang langgeng dan
tetapnya keyakinan mereka yaitu
Jamal Mirdad masih
memeluk agama Islam
dan Lidya Kandau masih
beragama Kristen. Dalam
Islam sudah dijelaskan
bahwa posisi seorang
laki-laki lebih tinggi
dibandingkan oleh seorang perempuan,
hal ini sesuai dengan
ayat Al-Qur’an:
ﻮﻗ ل ﺎﺟﺮﻟا ا ﺎﺴﻨﻟا ﻰﻠﻋ نﻮﻣﻋ ﻞﯿﻟﺪﻟا لﺪﯾ ﻰﺘﺣ ﺔﺣﺎﺑﻹا ءﺎﯿﺷﻷا ﻰﻓ ﻞﺻﻷا ﮫﻤﯾﺮﺤﺗ ﻰﻠ
Artinya: Sesungguhnya
seorang laki-laki adalah seorang pemimpin atas perempuan.
Dalam hal
ini sesungguhnya Jamal
Mirdad sebagai laki-laki
berhak untuk memimpin keluarganya,
baik dari segi
ekonomi maupun dari
segi agama. Namun
hal ini tidak dilakukannya
karena dia lebih
memprioritaskan toleransi antara
umat beragama, terbukti dengan
perbedaan keyakinan diantara
suami dan istri,
demikian pula dia
juga memberikan kebabasan kepada putra putrinya untuk memeluk agama yang diyakininya
b. Kemerdekaan
dalam berumah tangga
Islam memberikan
hak penuh kepada
semua orang untuk
kehidupan rumah tangganya. Jangan
sampai kebebasan itu
diganggu orang lain.
Al-Qur'an memerintahkan, setiap
orang yang mau
masuk rumah orang
lain, harus meminta
izin terlebih dahulu. Sebagaimana sabda
Nabi: "Siapa yang
melihat-lihat ke dalam
rumah orang lain
tanpa minta izin, kemudian
yang mempunyai rumah
marah dan melukai
matanya, maka dia tidak dikenakan diyat (hukuman ganti rugi)". Mengenai rumah
tangga terdapat prinsip-prinsip Islam
dalam membina keluarga.
Prinsip-prinsip Islam
dalam membina keluarga
tergambar dalam beberapa Firman Allah.
Oleh karena perkawinan
adalah satu sunnah
dari beberapa sunnah
yang bersifat natural yang
perlu untuk kekalnya
jenis manusia, maka
Allah menciptakan baik laki-laki maupun
perempuan yang masing-masing
ingin berkumpul dan
berdekatan satu sama lain.
c. Kemerdekaan
melindungi diri
Islam meenetapkan,
bahwa setiap orang
mempuny ai hak dan
kebebasan melindungi diri dari
ancaman, termasuk juga
melindungi keluarga dan
hartanya. Sebagaimana Nabi bersabda:
"Barang siapa terbunuh
karena mempertahankan harta miliknya, dia
mati syahid".
Dalam hadits lain
dinyatakan: "Punggung (jiwa)
setiap mukmin dilindungi hukum, kecuali dalam kasus had dan
hukuman".
d. Kemerdekaan
berfikir dan berbicara
Mu'adz bin
Jabal diberi hak
menggunakan pikirannya dalam
mengatur tugasnya, asal tidak
bertentangan dengan nash
al-Qur'an dan Sunnah. Nabi
memberikan kesempatan kepada seseorang
yang menagih hutangnya
kepada Nabi, dengan kata-kata yang agak keras, meskipun
sahabat-sahabatnya menegurnya,
sebagimana beliau bersabda : "Biarkan itu adalah haknya".
e. Hak
memperoleh pekerjaan dan kebebasan memilki hasil kerjanya
Firman Allah
dalam al-Qur'an yang
artinya: "Aktiflah dalam
kegiatan dimana saja di atas
bumi, dan carilah rizki Tuhan
(fadlollah)". Yang mana pada
intinya manusia mempunyai
kebebasan untuk memenuhi
kebutuhan hidupnya dari
apa-apa yang ada di
bumi. Hal tersebut juga pernah dilakukan oleh Nabi dengan pernah mencarikan
kapak dan tali untuk seorang yang inigin
bekerja mencari kayu bakar.
f. Kemerdekaan
berpolitik
Prinsip Islam
menetapkan bahwa Kepala
Negara adalah dipilih
melalui baiat para ahlul
halli wal aqdi.
Dan rakyat memperoleh
hak mengemukakan pendapat yang dirasa
benar. Sebagaimana sebuah
hadits yang artinya: "Katakan yang
benar, meskipun dihadapan penguasa
yang zalim" dan
"Urusan mereka dimusyawarahkan antara mereka".
4. Dalil-Dalil Tentang Hurriyah
Konsep kebebasan atau
kemerdekaan (al-hurriyah) adalah
konsep yang memandang semua
manusia pada hakekatnya
hanya hamba Tuhan
saja, sama sekali bukan hamba
sesama manusia. Berakar
dari konsep ini,
maka manusia dalam pandangan
islam mempunyai kemerdekaan dalam
memilih profesi, dalam memilih
wilayah hidup, bahkan dalam
menentukan pilihan agama
pun tidak dapat
dipaksa, sebagaimana firman
Allah dalam Al-quran, yaitu:
a. surat Al Baqarah ay at 256:
Artinya :
"Tidak ada paksaan
untuk (memasuki) agama
(Islam); Sesungguhnya telah jelas jalan
yang benar daripada
jalan yang sesat. Karena
itu barangsiapa yang
ingkar kepada Thaghut dan beriman
kepada Allah, Maka sesungguhnya
ia telah berpegang kepada
buhul tali yang amat
kuat yang tidak
akan putus. Dan
Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui".
b. Surat Yunus ayat 99 y ang berbunyi:
Artinya: "Dan
jikalau Tuhanmu menghendaki,
tentulah beriman semua
orang yang di
muka bumi seluruhnya. Maka
apakah kamu (hendak)
memaksa manusia supaya mereka menjadi orang-orang yang
beriman semuanya?”.
Apalagi dalam
masalah pengelompokan politik
dan organisasi sosial.
Boleh saja orang yang
dianjurkan mengikuti suatu
kelompok sosial maupun
kelompok keagamaan, namun
tidak dengan paksaan,
sebab pada hahekatnya
hak untuk memaksa adalah
hanya wewenang Tuhan.[6]
Dalam hal
perbudakan, konsep ini
secara perlahan dan
bertahap sudah diterapkan dalam hukum Islam, dalam hal anjuran untuk memerdekakan
budak (hamba sahaya). Terbukti
dengan banyak sekali
kafarat (tebusan dosa)
yang pilihan pertamanya
wajib memerdekakan hamba sahaya
yang muslim seperti kafaratnya berhubungan suami-isteri pada siang hari bulan Ramadhan, kafarat dzihar (menyamakan isteri
dengan ibu atau
mahram lainnya dengan maksud
haram untuk digauli).
Padahal waktu itu perbudakan masih
merupakan kondisi alami yang
masih mendunia. Kalaupun
Islam mengharamkan perbudakan
secara spontan dan tegas
akan mengakibatkan kacaunya
sistem kehidupan dan
ekonomi yang masih
sangat bergantung pada perbudakan,
disamping pemberlakuan hukum
Islam secara spontan
dan tegas bertentangan dengan
prinsip syariat Islam
yang tadarruj (bertahap) seperti tahapan pengharaman khomer
(minuman keras) dengan
tiga tahapan yang
direkam dalam al-Qur'an-dalam berdakwah
dan pemberlakuan sebuah
hukum yang bertujuan untuk merubah kebiasaan buruk suatu
kelompok yang sudah
mengakar dan membudaya.
Berbeda dengan hukum
yang tidak bertujuan merubah
kebiasaan buruk, maka
pemberlakuannya secara spontan
dan tegas, seperti: sholat,
puasa, zakat dan lain-lain.
Dari konsep di atas lahir beberapa
kaidah fiqhiyyah seperti:
1.
Al-Ashl
Baroah Al-Dzimmah
Pada dasarnya manusia
adalah bebas, tidak
mempunyai tanggung jawab terhadap hak-hak
orang lain. Adanya
beban tanggung jawab
adalah karena adanya hak-hak yang
telah dimiliki atau
perbuatan-perbuatan y ang telah
dia lakukan. Misalnya seorang terdakwa
menolak sumpah, tidak
bisa dikenai hukuman,
sebab menurut hokum yang
asal ia bebas
dari tanggung jawab
justru pendakwa yang
harus angkat sumpah. Contoh lain
seorang anak kecil
yang baru lahir,
dia tidak mempunyai
beban syara' sedikitpun, dia
bebas untuk melakukan
sesuatu sampai dia
baligh, dan baligh
inilah merupakan batasan dari
seorang bayi untuk
memperolaeh kewajiban y ang
bersifat syar'i, namun sebelum
baligh seseorang bebas
untuk melakukan sesuatu
sesuai dengan keinginannya. Apabila dia
masih belum cukup
umur atau dipandang
tidak kuat dalam menjalankan hukum
syar'i, maka ia
tetap bebas dari
tanggungan hukum syar'i, sebagaimana firman Allah:
ﮭﻌﺳو ﻻإ ﺎﺴﻔﻧ ﷲ ﻒﻠ ﻜﯾ ﻻ ﺎ
Artinya:
Allah tidak membebani seseorang
melainkan sesuai dengan kesanggupannya.
2.
Al-Ashl
Fi Al-Syaei Al-Adam
Pada prinsipnya
segala sesuatu itu
tidak ada hukumnya. Adapun kewajiban ibadah dalam
hukum Islam seperti
sholat, puasa, zakat
dan sebagainya tidak
dapat diartikan sebagai pengebirian
atau pemerkosaan terhadap
konsep dasar kebebasan dan kemerdekaan manusia.
Karena pada kahekatnya
semua ibadah mulai
dari yang wajib dijauhi
(haram) itu merupakan
kebutuhan yang esensial
bagi manusia itu
sendiri, sebab ibadah-ibadah itu
akan banyak memberikan
hikmah dan manfaatnya.
Bahkan kalau kita cermati
dengan teliti dan
seksama hal-hal yang
diharamkan dalam al-Qur'an
dan Hadits (yang disarikan
dan dikembangkan dalam
kitab-kitab fiqh para
ulama) itu sangatlah sedikit bila
dibandingkan dengan yang
dibolehkan (tidak haram).
Begitu juga yang diwajibkan seperti
sholat misalnya, hanya
lima waktu dalam 24 jam,
bila sekali sholat menghabiskan waktu
sepuluh menit, maka
dalam 24 jam
hanya membutuhkan waktu
50 menit atau satu
jam saja. Maka
jelaslah bahwa Islam
banyak memberikan kebebasan
bagi manusia untuk beraktivitas
dan berkreasi selama
tidak bertentang dengan
syariat Islam.
5. Konsep Hurriyah dalam Islam
Islam terlahir dalam lingkungan pluralisme agama.
Dimana pada saat itu tidak hanya Yahudi ataupun Nasrani saja, akan tetapi
berbagai macam aliran telah berkembang dan mengakar kuat dalam hati masyarakat
Qurasy saat itu. Syariat Islam telah menetapkan kebebasan melaksanakan
ajaran-ajaran pelbagai agama ( baik Islam atau bukan). Hal ini bertujuan agar
kebebasan ini tidak mengakibatkan kekufuran bagi umat Islam dan kesesatan yang
bersifat menentang simbol-simbol ke-Islaman. Rekaman realita kebebasan beragama
sepanjang sejarah Oslam bisa dilihat dalam piagam Madinah. Rasulullah Saw telah
menetapkan kebebasan orang Yahudi dengan ketiga golongannya di Madinah untuk
melaksanakan simbol-simbol keagamaan mereka. Dalam piagam itu disebutkan
:”Orang Yahudi dari bani ‘Auf merupakan satu umat bersama orang mukmin. Bagi
orang Yahudi adalah agama mereka bagi orang Islam adalah agama mereka, kecuali
orang yang dzalim dan berdosa. Sesungguhnya ia tidak dirusakkan atau
dibinasakan kecuali oleh dirinya sendiri dan keluargannya” sahabat Umar Ra
dalam suratnya yang dikirim kepada penduduk Baitul Maqdis mengatakan :”Ini
adalah apa yang diberikan Umar kepada penduduk Eliya (Quds) yakni keamanan. Mereka
diberi keamanan terhadap diri, gereja dan juga agama mereka serta salah satu
mereka tidak akan disakiti.
Islam tidak
bertentangan dan Hak Asasi Manusia, justru sangat menghormati hak dan kebebasan
manusia. Jika prinsip-prinsip dalam al-Qur’an disarikan maka terdapat banyak
poin yang sangat mendukung prinsip universal hak asasi manusia. Prinsip-prinsip
itu telah dituangkan dalam berbagai pertemuan umat Islam. Yang pertama adalah Universal
Islamic Declaration of Right, diadakan oleh sekelompok cendekiawan dan
pemimpin Islam dalam sebuah Konferensi di London tahun 1981 yang diikrarkan
secara resmi oleh UNISCO di Paris.
Dalam fiqih islam ditetapkan,
masing-masing individu hidup dengan mengantongi hak dan kewajiban. Hak-hak
tersebut bebas dilakukan, selama tiada mengganggu individu yang lainnya. Dalam
kaidah fiqh disebutkan La dharara wala dharar(tidak merugikan dan
dirugikan). Maka dari itu islam syari’ah memberikan batasan bagi setiap
individu dalam mamakai haknya, salah satunya adalah kebebasan tersebut. Dari
hokum atau tatanan syari’ah ini maka lahirla kemudian di dalam islam suatu
hokum yang mwngatur hubungan antar manusia, muamalah, hokum jinayat dll.
Terkadang
orang memaknai kata kebebasan secara metafisik,yaitu kebebasan yang bertumpu
pada keyakinan bahwa tuhan adalah zat yang tak terbatas, dengan kata lain
kebebasan mutlak. Sikap islam terhadap pemahaman ini, adalah hadir sebagai
penolong agar manusia tidak terjerumus arus kemerdekaan bebas tanpa batas.
Makan dari kemerdekaan ini, tisak menghalangi islam untuk meyakini bahwa
manusia memiliki kemerdekaan untuk hidup bermartabat di dunia dan melaksanakan
kewajiban-kewajibannya.
Islam
mengatur berbagai macam kebebasan. Kebebasan memilih merupakan salah satu
keistmewaan manusia dibandingkan dengan makhluk lain. Islam memandang bahwa
pemaksaan berakibat pada munculnya sikap antipati, rasa takut, naluri
mempertahankan diri, amarah dan kebencian, egoisme, dan upaya-upaya
penyelamatan diri yang terkadang berbarengan dengan agresifitas dan sikap konfrontatif.
Pada saat-saat seperti ini, sebagaimana ditunjukkan oleh riset-riset tentang
otak, maka seseorang telah dibajak secara emosional dan intelektual sehingga
bagian otak berpikirnya sulit berfungsi dengan baik. Oleh karena itulah, dalam
al-Qur’an disebutkan Tidak ada pemaksaan dalam beragama.
Kebebasan
dalam Islam ialah kebebasan yang berasaskan pada Tuhan sebagai poros dan tolok
ukur, bukan manusia (humanisme). Allah swt bersabda: “Wahai manusia kamulah
yang memerlukan (Faqir) terhadap Allah, dan Allah Dia-lah Yang Maha Kaya (tidak
memerlukan kepada selain-Nya) lagi Maha Terpuji.
Dalam Islam hak dan kebebasan dapat
dibagi menjadi tiga macam, yaitu:
1. Keamanan, kehormatan tempat kebebasan
individu, mencakup di dalamnya hak
mendapatkan jaminan
2. Tinggal, bebas melakukan perjalanan, jaminan mengenai rahasia surat- menyurat dan
lain sebagainya.
3. Kebebasan berpolitik, mencakup di dalamnya
kebebasan mengeluarkan pendapat,
kebebasan beragama dan melakukan syiar agama, kebebasan pers, berkumpul, memberikan
kritikan terhadap kebijakan pemerintah dan bebas untuk ikut andil dalam kancah
politik sesuai dengan prinsip syura.
4. Hak mendapatkan
kebebasan ekonomi dan sosial. Bagian pertama mencakup hak milik, dan
yang kedua mencakup hak mendapatkan pekerjaan, jaminan kesehatan dan
solidaritas sosial yang tercermin dalam kewajiban membayar zakat atau bentuk
shadaqah lainnya seperti sadaqah dari nadzar, kafarat, hewan kurban dll.[7]
6. Batasan
Kebebasan dalam Islam
Bagi
manusia, batas kebebasan dan ketebatasan tidak begitu jelas. Apa yang bagi
seseorang termasuk daam wilayah kebebasannya barag kai bagi orang lain meruakan
kemustahilan, begitu pula sebaliknya. Ini mengindikasikan bawa kepentingan
bebasa tia individu berbeda dan hal iiberari membbutuhkan atoran aturan
tertentu.
Meskipun Islam mengakui kebebasan, namun bukan berarti manusia dapat bebas
tanpa batas. Kebebasan dalam islam ditekankan dalam bentuk tanggung jawab
social(al maslahah al mursalah). Dasar umum prinsip ini bahwa manusia
tetap dalam kemerdekaan individunya selama tidak bertrubkan dengan kemaslahatan
umum.
Islam
memberikan batasan mengenai hak dan kebebasan beragama, berfikir dan berbicara
,yang terangkum dalam Deklarasi London sebagai berikut.
a. Setiap
orang mempunyai hak untuk mengekspresikan pemikiran dan kepercayaannya sejauh
dalam lingkup yang diatur dalam hukum. Namun tidak seorangpun berhak
menyebarkan kepalasuan atau menyebarkan berita yang mungkin mengganggu
ketentraman publik atau melecehkan harga diri orang lain.
b. Mencari ilmu dan mencari kebenaran bukan hanya
hak tapi kewajiban bagi Muslim.
c. Hak dan kewajiban Muslim adalah melakukan
protes dan berjuang melawan penindasan, meskipun dalam hal ini harus melawan
penguasa Negara.
d. Tidak ada batasan dalam menyebarkan informasi,
asalkan tidak membahayakan keamanan masyarakat dan Negara dan masih dalam
lingkup yang dibolehkan oleh hukum.
e. Tidak seorangpun berhak menghina atau
melecehkan kepercayaan agama lain atau memprovokasi permusuhan publik;
menghormati kepercayaan agama lain adalah kewajiban bagi Muslim.
Kebebasan (hurriyah)
dalam Islam memiliki nilai individu dan sosial sekaligus. Syariah Islam
memberikan batasan bagi setiap individu agar ia dapat melaksanakan kebebasan
secara proporsional. Untuk menjaga agar kebebasan tiap individu terjaga, maka
da upaya preventif dan defensif dalam Islam. Yaitu dengam memberikan pengawasan
dari dalam diri setiap individu sehingga ia dapat mengendalikan kebebasan dari
dalam dirinya. Dengan demikian, ia tidak akan
menggunakan hak kebebasan sesuai dengan hawa nafsu belaka.. Di antara
sikap tersebut adalah rasa malu dan etika Islami lainnya.
Yang kedua,
adanya Pengawasan yang berasal dari luar dirinya yaitu berupa aturan dan hukum
yang diterapkan suatu negara. Peraturan supaya tidak semua manusia mampu
mengendalikan dirinya dan dapat menggunakan hak kebebasannya sesuai dengan
nilai dan norma yang berlaku dalam masyarakat. Dengan demikian, hukum tersebut
sesungguhnya bertujuan untuk melindungi kebebasan, dan bukan sebagai sarana
pengekang kebebasan.
C.
HUBUNGAN
MURU’AH DAN HURRIYAH
Suatu perbuatan baru dapat dikatakan sebagai muru’ah atau perbuatan yang
dapat di nilai berakhlak baik, apabila perbuatan tersebut dilakukan atas
kemauan dan kesadaran sendiri bukan karena paksaan dan bukan pula di buat-buat
dan di lakukan dengan tulus ikhlas.
Dengan demikian perbuatan yang berakhlak itu ialah perbuatan yang di
lakukan dengan sengaja secara bebas. Selanjutnya perbuatan akhlak juga harus
dilakukan atas kemauan sendiri dan bukan karena paksaan. Perbuatan seperti
inilah yang dapat dimintai pertanggung jawabannya dari orang yang
melakukannya.dengan demikian kita dapat melihat pentingnya hubungan tanggung
jawab dengan akhlak.
Maka dapat di simpulkan bahwa kebebasan, tanggung jawab dan hati nurani adalah
merupakan faktor-faktor dominan yang menentukan suatu perbuatan dapat di
katakan sebagai perbuatan akhlak.[8]
BAB III
MENANAMKAN MURU’AH
DAN HURRIYAH
PADA PESERTA
DIDIK
- Latar
Belakang
Akhlak
mulia pada peserta didik berperan penting dalam mewujudkan suatu kehidupan
bermakna, damai dan bermartabat. Akhlak mulia menyangkut etika, budi pekerti,
dan moral sebagai manifestasi dari pendidikan agama.
Sering
kali terdengar bila bicara soal akhlak yang kerap terdengar adalah segala
penyimpangannya, tetapi ada juga akhlak yang sangat kontras yaitu mereka yang
menjaga akhlaknya. Mereka menghabiskan waktunya untuk menuntut ilmu, bahkan
banyak juga yang masih belia sudah hafal Al-Qur’an.
Akhlak
yang baik adalah fondasi agama dan merupakan hasil dari usaha orang-orang
bertakwa. Dengan akhlak yang baik, pelakunya akan terangkat ke derajat yang
tertinggi. Tidak ada amalan yang lebih berat dalam timbangan seorang muslim
dihari kiamat nanti dari pada akhlak yang baik.
Pengarahan
yang tepat ialah dengan mengikuti contoh konkret lewat keteladanan Rasulullah
saw. Dengan dukungan orang tua dan pendidikan formal, insyaAllah akan
memperkuat dasar akidah remaja sehingga dia akan siap terjun dalam pergaulan
masyarakat yang lebih luas. Dia biasa menjalankan tanggung jawabnya terhadap
diri sendiri dan lingkunganya yang semuanya akan bermuara pada realisasi
tanggung jawabnya kepada Allah swt.
Dalam diri
seseorang diperlukan sikap muru’ah dan hurriyah. Sikap muru’ah dan hurriyah perlu
kita bina sejak masih kecil. Sikap hurriyah ini berkaitan erat dengan kebebasan
yang baik dalam diri. Jika kita mampu mengendalikan diri dari urusan-urusan
dunia, maka kebebasan inilah yang berperan aktif secara baik.
- Cara Menanamkan Muru’ah Pada
Peserta Didik
Menanamkan
Nilai-nilai Akhlak Mulia di Madrasah Ibtidaiyyah (MI) secara umum ada 2 cara untuk menanamkan
Nilai-nilai akhlak mulia pada siswa, yaitu:
1. Intervensi
Adalah usaha sadar yang sengaja dilakukan untuk memberikan pemahaman, dorongan dan penugasan kepada siswa sehingga mereka atas kesadaran sendiri mau melaksanakan dan menerapkan nilai-nilai tersebut dalam kehidupan sehari-hari.
Dalam hal ini kegiatan dapat dilakukan dengan mengenalkan nilai-nilai karakter dan akhlak mulia yang diharapkan diketahui dan dilakukan anak-anak dalam kehidupan ksehariannya dengan cara diintegrasikan dalam semua mata pelajaran yang ada.
Adalah usaha sadar yang sengaja dilakukan untuk memberikan pemahaman, dorongan dan penugasan kepada siswa sehingga mereka atas kesadaran sendiri mau melaksanakan dan menerapkan nilai-nilai tersebut dalam kehidupan sehari-hari.
Dalam hal ini kegiatan dapat dilakukan dengan mengenalkan nilai-nilai karakter dan akhlak mulia yang diharapkan diketahui dan dilakukan anak-anak dalam kehidupan ksehariannya dengan cara diintegrasikan dalam semua mata pelajaran yang ada.
2. Pembiasaan
(habituasi)
Adalah kegiatan sebagai tindak
lanjut dari intervensi yaitu membiasakan anak untuk mengamalkan nilai-nilai
akhlak mulia dan karakter dalam kehidupannya.
Dalam kegiatan ini peran dan kepedulian semua warga sekolah sangat menentukan keberhasilan pembentukan karakter anak. Sehingga setiap saat harus mengamati segala hal yang dilakukan siswa-siswinya terutama di sekolah dengan sesegera mungkin memberi pengertian pada anak apa yang harus dilakukan (jika anak berlaku dengan baik diberi pujian dan jika berbuat sesuatu yang kurang/tidak baik maka segera diberi teguran dan diminta melakukan tindakan yang sebaiknya ia lakukan).
Dalam kegiatan ini peran dan kepedulian semua warga sekolah sangat menentukan keberhasilan pembentukan karakter anak. Sehingga setiap saat harus mengamati segala hal yang dilakukan siswa-siswinya terutama di sekolah dengan sesegera mungkin memberi pengertian pada anak apa yang harus dilakukan (jika anak berlaku dengan baik diberi pujian dan jika berbuat sesuatu yang kurang/tidak baik maka segera diberi teguran dan diminta melakukan tindakan yang sebaiknya ia lakukan).
Peran Kepala Sekolah, Guru dan tenaga
kependidikan antara lain :
a. Sebagai
demonstrator (memberikan keteladanan)
b. Sebaga
pengelola kelas/kegiatan (menciptakan Susana kelas yang kondusif)
c. Sebagai
mediator dan fasilitator
d. Sebagai
evaluator
Oleh karena itu dalam proses
penanaman nilai-nilai dan pembentukan akhlak mulia semua warga sekolah terutama
kepala sekolah, guru dan tenaga kependidikan harus mampu menampilkan sikap
perilaku yang baik sehingga berpengaruh positif pada siswa. Nilai-nilai akhlak
mulia yang dikembangkan di sekolah dasar antaralain ; Santun, kasih sayang,
kerjasama, disiplin, rendah hati, percaya diri mengendalikan emosi, toleran,
mandiri, jujur, hemat, pantang menyerah, berpikir positif, adil, cinta damai,
kerja keras, cinta tanah air, tanggungjawab dan ikhlas.
- Cara Menanamkan
Hurriyah Pada Peserta Didik
Manusia
adalah satu-satunya mahluk yang mempunyai kebebasan untuk memilih sendiri jalan
hidupnya serta kemampuan untuk mengembangkan dirinya. Manusia sebagai makhluk
paling sempurna, dilengkapi dengan kemampuan berfikir (akal) serta perasaan.
Dengan akal, memungkunkan manusia mengetahui sunnah-sunnah Allah, dan
memanfaatkannya untuk kepentingan hidupnya. Maka dari itu sangat penting sekali
menanamkan sikap hurriyah kepada peserta didik sejak di Madrasah Ibtidaiyyah. Menanamkan
sikap hurriyah kepada peserta didik dengan cara memberi kebebasan peserta didik
untuk berkehendak, berpendapat, memilih sesuatu sesuai dengan batasan-batasan
tertentu.
Hak untuk mendapatkan kebebasan sama
pentingnya seperti hak untuk hidup. Kebebasan dapat diterapkan secara purna
pada niat pribadi, kehendak dan penguasaan atas prilaku peserta didik.
Sedangkan kekuasaan penggunaannya secara praktis tergantung pada apakah
kebebasan itu membahayakan orang lain atau tidak. Kebebesan memilih merupakan
landasan etik bagi salah satu prinsip Islam tentang tanggung jawab individual
setiap muslim di hadapan Tuhannya, dan setiap orang berhak atas apa yang
diusahakannya.
Islam
merupakan pembebasan yang bertumpu pada ajaran tauhid. Misi sosial kebudayaan
Islam berupaya menghapus segala praktik yang dapat merendahkan martabat dan
kodrat manusia itu sendiri. Maka dalam permasalahan ini, islam mengatur dengan
baik tentang penggunaan kebebasan yaitu dengan memerikian batasan-batasan
tertentu. Jadi dapat kita ambil satu kesimpuln islam mengakui adanya kebebasan,
dalam artian kemerdekaan yang menjadi lawan perbudakan. Dalam islam bentuk
kebebasan adalah ikhtiyar, yaitu memilih. Islam tidak memaksakan menusia dalam
hal keyakinan (beragama ). Telah jelas disebutkan dalam al-Qur’an Lakum
dinukum wa liyaddin.
- Pembahasan/Isi
1. Kontribusi bagi Pengembangan
Kualitas MI di bidang Akhlak
Pendidikan sebagai upaya untuk memberikan solusi perkembangan dan perubahan
kemanusiaan secara dinamik dan gradual berkaitan erat dengan sekolah utamanya
sekolah formal. Sekolah sebagai proses pengembangan kepribadian peserta
didik berusaha memberikan bantuan kepada
peserta didik untuk mengembangkan dirinya secara utuh berdasarkan kasih.
Sekolah berdiri diantara peserta didik dan Allah SWT. yang memberinya
tanggungjawab. Sekolah dengan berbagai upaya dan seluruh elemen sekolah yang terus- menerus membimbing, memproses dan
mengantarkan peserta didik kearah pengenalan akan ciptaan Allah SWT. dengan
segala hukum- hukumNya.
Dalam dunia pendidikan, khususnya
dibidang Akhlak, sikap muru’ah dan hurriyah sangat diperlukan untuk setiap
peserta didik. Karena hal tersebut dapat menentukan kualitas MI terutama pada
peserta didiknya. Orang yang memiliki sikap tersebut maka akan senantiasa
bersyukur kepada Allah SWT. Di dalam sebuah MI diperlukan penanaman sikap itu
sejak dini karena dapat membentuk pribadi yang baik bagi setiap peserta
didiknya dan akan menimbulkan prasangka yang baik terhadap Allah SWT, terhadap
apa yang telah diberikan dengan begitu maka rasa syukur akan selalu muncul.
Dengan adanya pembelajaran sikap
muru’ah dan hurriyah ini maka kualitas MI akan semakin tinggi karena akan
berdampak positif kepada peserta didik sehingga mereka akan senantiasa
bersyukur dan bersikap qana’ah, sehingga dapat terbawa dengan lingkungan
sekitar dan akan menimbulkan sikap-sikap terpuji lainnya, yang tentunya dapat
bermanfaat bagi lingkungan sekitar.
2. Mengkritisi Proses Pembelajaran
Akhlak
Dalam proses pembelajaran Akhlak,
perlu ditanamkan sikap muru’ah dan
hurriyah, terutama untuk anak-anak. Dengan membiasakan bersikap muru’ah dan
hurriyah seseorang akan belajar untuk bert Walaupun itu sedikit jumlahnya,
memanfaatkan segala sesuatu pada tempatnya dan dapat menghindarkan diri dari
sifat boros. Bila seseorang dapat menumbuhkan sikap qana’ah dalam dirinya itu
akan memudahkan seseorang untuk selalu bertindak dengan baik sesuai dengan
kebebasan yang ada batasannya.
3. Memberikan Pemecahan Masalah untuk
Merekonstruksi Proses Pembelajaran
Agar
proses pembelajaran dapat berjalan dengan lancar, sebagai seorang pendidik
harus memiliki sebuah metode untuk memecahkan setiap masalah yang mucul pada
proses pembelajaran. Diantaranya sebagai berikut.
a. Pemberian
motivasi belajar kepada anak didik
Tujuan dari memberi
motivasi adalah agar siswa terdorong untuk lebih giat lagi belajar. Seperti
ketika peserta didik memiliki akhlak yang buruk, maka seorang pendidik harus
selalu memberikan motivasi bahwa ia harus selalu berakhlak baik.
b. Menciptakan
suasana pembelajaran yang menantang dan menyenangkan
Jika suasana
pembelajaran di kelas menyenangkan, pasti siswa tidak akan merasa bosan dan
akan lebih tertarik untuk mengikuti kegiatan pembelajaran tersebut.
c. Mengembangkan
kebiasaan belajar yang baik
Sebagai seorang
pendidik, harus bisa mengembangkan kebiasaan belajar para siswa menjadi lebih
baik agar kegiatan pembelajaran dapat hidup. Seperti: mengajak belajar siswa di
luar ruangan, agar siswa lebih bersemangat dan mengenal alam luar, tidak hanya
di dalam satu ruangan itu saja. Dan menanamkan sikap muru’ah dan hurriyah pada
peserta didik bahwa ia harus berakhlak mulia dan bertindak sesuai dengan
keinginannya dengan batasan tertentu dalam proses pembelajaran.
d. Mengembangkan
sumber belajar yang menarik
Agar siswa selalu ingin
tahu dengan materi yang akan disampaikan, hendaknya pendidik mengembangkan
sumber belajar, agar siswa lebih tertarik untuk mempelajarinya. Setelah
mengetahui berbagai materi contohnya tentang Akhlak, maka jangan lupa ajarkan
sikap muru’ah dan hurriyah dengan metode yang tepat agar anak mengerti dan
dapat mengaplikasikannya.
4. Mengidentifikasi Masalah yang Muncul
pada Anak Didik
Dalam proses pembelajaran pasti terdapat
berbagai permasalahan yang muncul, kita sebagai pendidik harus memiliki cara
untuk mengatasi berbagai permasalahan yang muncul pada proses pembelajaran
tersebut.
a. Contoh sikap buruk
peserta didik dan cara mengatasinya.
1) Seorang peserta
didik yang tidak membolos saat proses pembelajaran karena ia malas belajar.
Cara mengatasinya: kita sebagai pendidik harus senantiasa
memberikan motivasi-motivasi kepada peserta didik yang malas belajar, dan
meminta peserta didik untuk terus meningkatkan prestasinya dalam proses
pembelajaran.
2) Seorang peserta didik yang memiliki keterbatasan
dalam proses pembelajaran dan merasa ia tidak mampu belajar dan bersosialisasi
dengan lingkungan sekitar.
Cara
mengatasinya: sebagai pendidik tak henti-hentinya kita memberikan motivasi
kepada peserta didik yang mengalami masalah, peserta didik yang memiliki
keterbatasan sebaiknya harus selalu bersyukur dengan apa yang Allah berikan,
karna dibalik keterbatasan tersebut terdapat beberapa kelebihan yang belum kita
ketahui, untuk itu kita memiliki kesempatan untuk dapat berkembang.
BAB IV
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Berdasarkan data di atas, dapat
ditarik kesimpulan sebagai berikut. Muru’ah adalah kata sifat yang diambil dari kata benda “Mar’u” yang
berarti manusia atau orang. Muru’ah pada mulanya berarti sifat yang dimiliki
oleh manusia. Sifat tersebutlah yang membedakan manusia dari hewan dan makhluk
lain pada umumnya. Istilah ini dipakai dalam agama Islam dalam pengertian
mengaplikasikan akhlak yang terpuji dalam segala aspek kehidupan serta
menjauhkan akhlak yang tercela sehingga seseorang senantiasa hidup sebagai
orang terhormat dan penuh kewibawaan.
Huriyyah
adalah konsep yang memandang semua manusia pada hakekatnya hanya hamba Allah
saja, sama sekali bukan hamba sesama manusia. Berakar dari konsep ini, maka
manusia dalam pandangan Islam mempunyai kemerdekaan dalam memilih profesi,
dalam memilih wilayah hidup, bahkan dalam menentukan pilihan agama pun tidak
dapat dipaksa. Apalagi dalam masalah pengelompokan politik dan organisasi
sosial. Boleh saja orang yang dianjurkan mengikuti suatu kelompok sosial maupun
kelompok keagamaan, namun tidak dengan paksaan, sebab pada hahekatnya hak untuk
memaksa adalah hanya wewenang Tuhan.
Banyak orang yang tidak mengetahui
hikmah yang dapat diambil dari sikap muru’ah dan hurriyah, padahal sikap muru’ah
dan hurriyah dapat membuat diri kita selalu berakhlak baik. Orang yang
mempunyai sikap murru’ah dan hurriyah, akan selalu menanamkan pada dirinya
bahwa apa yang dilakukan memiliki batasan tertentu.
B. Saran
Dari pembahasan yag telah kami
sajikan diatas, kami berharap mudah-mudahan setelah kita mempelajari pelajaran
mengenai akhlak terpuji ini, agar bisa kita jadikan sebagai rujukan dalam
melakukan pergaulan dalam kehidupan. Berakhlak terpuji
terungkap dalam seluruh sikap dan perbuatan, dalam amal perbuatan dan kerja
nyata. Jadi sudah sepatutnyalah kita untuk selalu berakhlak terpuji dalam
kehidupan sehari-hari. Kita sudah mengetahui bagaimana cara meningkatkan akhlak
terpuji. Dan semoga kita dapat selalu berahklak terpuji. Mudah-mudahan dengan
meningkat akhlak terpuji, kehidupan kita akan selalu berada dalam lindungan
Allah SWT.
Kemudian juga kami selaku pemakalah berharap
kepada pembaca makalah ini, agar jangan mengambil rujukan hanya terfokus kepada
materi yang telah kami sajikan dalam makalah ini saja, akan tetapi mari
kita sama-sama aktif dalam mencari buku-buku dan sumber lainnya yang membahas
masalah akhlak terpuji ini secara mendalam, sehingga lebih memantapkan
pengetahuan kita mengenai pembahasan akhlak terpuji tersebut dan dapat
mengaplikasikannya dengan lingkungan sekitar.
DAFTAR
PUSTAKA
Kumaidi.
Aqidah Akhlak. Akik Pusaka, Cirebon: 2009.
Komari,
Rasyid.. Pendidikan Agama Islam. Citra Pusaka, Surabaya: 2010.
Khalimi. Pembelajaran Akidah dan
Akhlak. Direktorat Jendral Pendidikan Islam dan Departemen Agama Republik
Indonesia, Jakarta: 2009.
Ash Shiddiqy , Hasbi. Falsafah
Hukum Islam. Bulan Bintang, Jakarta: 1975.
Hasan, Tholchah. Islam
dalam Perspektif Sosio Kultural.
Lantabora Press, Jakarta: 2000.
Mudjib, Abdul. Kaidah-Kaidah Ilmu Fiqh: Al-Qawaidul Fiqhiyyah. Kalam Mulia,
Jakarta: 1994
Muhaimin,
Tadjab,ABD Mudjib. Dimensi-dimensi Studi Islam. Karya Abditama,
Surabaya: 1994.
Muhammad
ahmad. Tauhid Ilmu Kalam, cetakan 1. Pustaka Setia,Bandung: 1998.
[3] Khalimi. Pembelajaran Akidah dan Akhlak. (Jakarta, Direktorat Jendral
Pendidikan Islam dan Departemen Agama
Republik Indonesia, 2009) hal: 122
[4] Hasan, Tholchah. Islam dalam Perspektif Sosio
Kultural. (Jakarta, Lantabora Press,
2000) hal : 78
[5] Mudjib,
Abdul. Kaidah-Kaidah Ilmu Fiqh: Al-Qawaidul Fiqhiyyah. (Jakarta, Kalam Mulia, 1994)
hal: 177
[6]
Muhaimin, Tadjab,ABD Mudjib. Dimensi-dimensi
Studi Islam. (Surabaya, Karya Abditama, 1994) hal: 134