Senin, 17 Februari 2014

Jual Beli

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Masyarakat muslim pada umumnya sangat antusias dalam urusan-urusan pribadi seperti sholat, puasa, atau haji. Sedangkan dalam urusan-urusan sosial yang merupakan kehidupan itu sendiri tidak perduli, seperti dalam urusan jual beli, riba dan lain-lain. Syariat islam sudah tidak lagi diindahkan.
Dalam bermuamalat sehari-hari, umat islam sama sekali tidak dapat dibedakan dari umat non-islam, mengacu pada tata cara yang bahkan bertentangan dengan syariat islam.Rasulullah SAW pernah menperingatkan kita: akan tiba suatu zaman ketika semua orang terlibat di dalam riba, bahkan yang tidak bermaksud memakannyapun, ikut terkena debunya. Zaman itu sepertinya telah sampai di tengah kita. Kegiatan jual-beli, utang-piutang, serta perdagangan yang kita jalani sehari-hari, saat ini, tak ada yang tak terkait dengan riba. riba merupakan salah satu usaha mencari rizeki dengan cara yang tidak benar dan dibenci Allah swt.
Oleh sebab itu, agar masyarakat lebih mengetahui dengan pasti mengenai jual beli dan riba. Maka kami akan menguraikan mengenai kedudukan jual beli dan riba.

B.     Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dari penulisan makalah ini adalah sebagai berikut:
1.      Apa pengertian dari jual beli?
2.      Apa saja rukun (unsur) dari jual beli?
3.      Apa hukum jual beli?
4.      Apa saja syarat sahnya jual beli?
5.      Apa yang dimaksud dengan saksi dalam jual beli?
6.      Apa yang dimaaksud dengan khiyar dan macam-macam khiyar dalam jual beli?
7.      Apa saja bentuk-bentuk Ba’i (jual beli)?
8.      Apa saja persyaratan dalam jual beli?
9.      Apa pengertian dari Riba?
10.  Apa dasar hukum riba?
11.  Apa saja sebab-sebab haramnya riba?
12.  Apa saja macam-macam riba?
13.  Apa saja hal-hal yang menimbulkan riba?
14.  Apa saja dampak riba pada ekonomi?
15.  Apa saja hikmah dilarangnya riba?
C.     Tujuan
1.      Agar kita dapat mengetahui pengertian dari jual beli
2.      Agar kita dapat mengetahui apa saja rukun (unsur) jual beli
3.      Agar kita dapat mengetahui hukum dari jual beli
4.      Agar kita dapat mengetahui apa saja syarat sahnya jual beli
5.      Agar kita dapat mengetahui apa yang dimaksud dengan saksi dalam jual beli
6.      Agar kita dapat mengetahui apa yang dimaksud dengan khiyar dan macam-macam khiyar
7.      Agar kita dapat mengetahui apa saja bentuk-bentuk dari Ba’i (jual beli)
8.      Agar kita dapat mengetahui apa saja persyaratan dalam jual beli
9.      Agar kita dapat mengetahui pengertian dari Riba
10.  Agar kita dapat mengetahui dasar hukum riba
11.  Agar kita dapat mengetahui sebab-sebab haramnya riba
12.  Agar kita dapat mengetahui macam-macam riba
13.  Agar kita dapat mengetahui hal-hal apa saja yang menimbulkan riba
14.  Agar kita dapat mengetahui dampak riba pada ekonomi
15.  Agar kita dapat mengetahui apa saja hikmah dilarangnya riba









BAB II
PEMBAHASAN
A.    Jual Beli dan Riba
1.      Jual Beli
a.       Pengertian jual beli
Secara terminologi fiqh jual beli disebut dengan al-ba’i yang artinya menjual, mengganti, dan menukar sesuatu dengan sesuatu yang lain. Al-ba’i mengandung arti menjual, sekaligus membeli atau jual beli.
Menurut Hanafiah pengertian jual beli (al-bay) secara definitif yaitu tukar-menukar harta benda atau sesuatu yang diinginkan dengan sesatu yang sepadan melalui cara tertentu yang bermanfaat.
Menurut Malikiyah, Syafi’iyah, dan Hanabilah, bahwa jual beli (al-ba’i) yaitu tukar menukar harta dengan dengan harta puladalam bentuk pemindahan milik dan kepemilikan.
Menurut pasal 20 ayat 2 Kompilasi hukum ekonomi syariah, ba’i adalah jual beli antara benda dan benda, atau pertukaran antara benda dengan uang.
Berdasarkan definisi diatas, maka pada intinya jual beli itu adalah tukar menukar barang. Hal ini telah dipraktikkan oleh masyarakat primitif ketika uang belum digunakan sebagai alat tukar-menukar barang, yaitu dengan sistem barter yang dalam terminologi fiqh disebut dengan ba’i al-muqayyadah.

b.      Rukun (unsur) jual beli
Rukun jual beli ada 3 yaitu:
1)      Pelaku transaksi (orang-orang yang berakad) yaitu penjual dan pembeli.
Syaratnya penjual dan pembeli adalah
a)      Berakal, agar dia tidak terkecoh. Orang yang gila atau bodoh tidak sah jual belinya.
b)      Dengan kehendak sendiri (bukan dipaksa)
c)      Tidak mubazir (pemboros), sebab harta orang yang mubazir itu ditangan walinya.
d)      Baligh (berumur 15 tahun keatas/dewasa). Anak kecil tidak sah jual belinya. Adapun anak-anak yang sudah mengerti tetapi belum sampek umur dewasa, menurut pendapat sebagian ulama, mereka diperbolehkan berjual beli barang yang kecil-kecil; karena kalau tidak diperbolehkan, sudah tentu menjadi kesulitan dan kesukaran, sedangkan agama islam sekali-kali tidak akan menetapkan peraturan yang mendatangkan kesulitan kepada pemeluknya.
2)      Objek transaksi (ma’kud alaiah) yaitu harga dan barang
Syarat-syarat benda-benda atau barang yang menjadi oblek akad ialah sebagai berikut:
a)      Suci barang najis tidak sah dijual dan tidak boleh dijadikan uang untuk dibelikan, seperti kulit binatang atau bangkai yang belum disamak.
b)      Ada manfaatnya menurut syara’. Tidak boleh menjual sesuatu yang tidak ada manfaatnya menurut syara’, seperti menjual babi, kala, cicak dan lainnya.Dilarang pula mengambil tukarannya karena hal itu termasuk dalam arti menyia-nyiakan (memboroskan) harta yang terlarang dalam kitab suci.
c)      Barang itu dapat diserahkan. Tidak sah menjual suatu barang yang tidak dapat diserahkan kepada yang membeli, misalnya ikan dalam laut, barang rampasan yang masih berada di tangan yang merampasnya, barang yang sedang dijaminkan, sebab semua itu mengandung tipu daya (kecohan).
d)      barang tersebut diketahui oleh si penjual dan si pembeli. Barang yang diperjual belikan harus dapat diketahui banyaknya, beratnya, takarannya, atau ukuran-ukuran yang lainnya, maka tidaklah sah jual beli yang menimbulkan keraguan salah satu pikak.
e)      Jangan ditaklikan, yaitu dikaitkan atau digantungkan kepada hal-hal lain, seperti jika ayahku pergi, kujual motor ini kepadamu.
f)        Milik sendiri, tidaklah sah menjual barang orang lain dengan tidak se-izin pemiliknya atau barang-barang yang baru akan menjadi miliknya.
g)      Tidak dibatasi waktunya, seperti perkataan kujual motor ini kepada tuan selama setahun, maka penjualan tersebut tidak sah sebab jual beli merupakan salah satu sebab pemilikkan secara penuh yang tidak dibatasi apa pun kecuali ketentuan syara’.

3)      Akad (ijab kabul)
Akad ialah ikatan kata antara penjual dan pembeli. Jual beli belum dikatakan sah sebelum ijab dan kabul dilakukan sebab ijab kabul menunjukkan kerelaan (keridhaan). Ada 2 bentuk akad yaitu:
a)      Akad dengan kata-kata, dinamakan dengan ijab kabul. Ijab yaitu kata-kata yang diucapkan terlebih dahulu. Misalnya, penjual berkata: “baju ini saya jual dengan harga Rp 10.000,-. Kabul yaitu kata-kata yang diucapkan kemudian. Misalnya pembeli berkata: “barang saya terima”.
b)      Akad dengan perbuatan, dinamakan juga dengan mu’athah. Misalnya: pembeli memberikan uang seharga Rp 10.000,- kepada penjual, kemudian mengambil barang yang senilai itu tanpa terucap kata-kata dari kedua belah pihak.[1]

c.       Hukum Jual Beli
Jual beli telah disahkan oleh Al-Qur’an, Sunnah, dan Ijma’. Ada pun dalil Al-Qur’an adalah QS.al-Baqarah/2:275:”Allah telah mengharamkan jual beli dan mengharamkan riba”. Dan firman Allah QS. an-Nisaa’/4:29:”hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu sekalian memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka diantara kamu.”
Adapun dalil sunah di antaranya adalah Hadits yang diriwayatkan dari Rasulullah SAW, beliau bersabda: “sesungguhnya jual beli itu atas dasar saling ridha”. Ketika ditanya usaha apa yang paling utama, beliau menjawab: “usaha seseorang dengan tangannya sendiri, dan setia jual beli yang mabrur.” Jual beli yang mabrur adalah setiap jual beli yang tidak ada dusta dan khianat.[2]
Adapun dalil ijma’, adalah bahwa ulama sepakat tentang halalnya jual beli dan haramnya riba, berdasarkan ayat dan hadits tersebut.



d.      Syarat Sahnya Jual Beli
Suatu jual beli tidak sah bila tidak terpenuhi dalam suatu akad tujuh syarat yaitu:
1)      Saling rela antara kedua belah pihak. Kerelaan antara kedua belah pihak untuk melakukan transaksi syarat mutlak keabsahannya, berdasarkan firman Allah SWT. Dalam QS. an-Nisaa’/4:29, dan hadits Nabi Riwayat Ibnu Majah: “jual beli haruslah atas dasar kerelaan (suka sama suka).”
2)      Pelaku akad adalah orang yang dibolehkan melakukan akad, yaitu orang yang telah baligh, berakal, dan mengerti. Maka akad yang dilakukan oleh anak dibawah umur, orang gila, atau idiot tidak sah kecuali dengan seizin walinya. Keciali akad yang bernilai rendah seperti membeli kembang gula, korek api, dan lain-lain. Hal ini berdasarkan firman Allah QS. an-Nisaa’/4:5 dan 6).
3)      Harta yang menjadi objek transaksi telah dimiliki sebelumnya oleh kedua belah pihak. Maka, tidak sah jual beli barang yang belum dimiliki tanpa seizin pemiliknya. Hal ini berdasarkan Hadits Nabi SAW Riwayat Abu Daud dan Tirmidzi, sebagai berikut”janganlah engkau jual barang yang bukan milikmu.”
4)      Objek transaksi adalah barang yang dibolehkan agama. Maka, tidak boleh menjual barang haram seperti khamar (minuman keras) dan lain-lain. Hal ini berdasarkan hadits Nabi SAW Riwayat Ahmad: “sesungguhnya allah bila mengharamkan suatu barang juga mengharamkan nilai jual barang tersebut.”
5)      Objek transaksi adalah barang yang biasa diserahterimakan. Maka tidak sah jual mobil hilang, burung diangkasa karena tidak dapat diserahterimakan. Hal ini berdasarkan hadits Nabi Riwayat Muslim: “Dari Abu Hurairah r.a. bahwa Nabi Muhammad SAW melarang jual beliu gharar (penipuan).
6)      Objek jual beli diketahui kedua belah pihak saat akad. Maka tidak sah menjual barang yang tidak jelas.
7)      Harga harus jelas saat transaksi. Maka tidak sah jual beli dimana penjual mengatakan: “aku jual mobil ini kepadamu dengan harga yang akan kita sepakati nantinya”. [3]

e.       Saksi dalam jual beli
Jual beli dianjurkan di hadapan saksi, berdasarkan firman Allah QS.al-baqarah/2:282: “dan persaksikanlah apabila kalian berjual beli”.
Demikian ini karena jual beli yang dilakukan dihadapan saksi dapat  menghindarkan terjadinya perselisihan dan menjauhkan diri dari sikap saling menyangkal. Oleh karena itu, lebih baik dilakukan, khususnya bila barang dagangan tersebut mempunyai nilai yang sangat penting (mahal). Bila barang dagangan itu nilainya sedikit, maka tidak dianjurkan mempersaksikannya. Ini adalah pendapat imam Syafi’i, Hanafiyah, Ishak, dan Ayyub.[4]
Adapun menurut Ibnu Qudamah, bahwa mendatangkan saksi dalam jual beli adalah kewajiban yang tidak boleh ditinggalkan. Pendapat ini diriwayatkan dari Ibnu Abbas dan diikuti oleh Atha dan Jabir.[5]

f.       Khiyar dalam jual beli
Khiyar artinya “boleh memilih antara dua, meneruskan akad jual beli atau mengurungkan (menarik kembali, tidak jadi jaul beli)”. Diadakan khiyar oleh syara’ agar kedua orang yang berjual beli dapat memikirkan kemaslahatan masing-masing lebih jauh, supaya tidak akan terjadi penyesalan dikemudian hari lantaran merasa tertipu.
Khiyar ada 3 macam:
1)      Khiyar majelis
Artinya si pembeli dan si penjual boleh melilih antara dua perkara tadi selama keduanya masih tetap berada ditempat jual beli.
Sabda Rasulullah Saw:“dua orang yang berjual beli boleh memilih (akan meneruskan jual beli mereka atau tidak) selama keduanya belum bercerai dari tempat akad.” (Riwayat Bukhari dan Muslim)

Habislah khiyar majelis apabila,
a)      Keduanya memilih akan meneruskan akad. Jika salah seorang dari keduanya memilih akan meneruskan akad, habislah khiyar dari pihaknya, tetapi hak yang lain masih tetap.
b)      Keduanya terpisah dari tempat jual beli. arti berpisah ialah menurut kebiasaan. Apabila kebiasaan telah menghukum bahwa keadaan keduanya sudah berpisah, tetaplah jual beli antara keduanya. Kalau kebiasaan mengatakan belum berpisah masih terbukalah pintu khiyar antara keduanya. Kalau keduanya berselisih, misalnya seseorang mengatakan sudah berpisah, sedangkan yang lain mengatakan belum, yang mengatakan belum hendaknya dibenarkan dengan sumpahnya, karena yang asal belum berpisah.

2)      Khiyar syarat
Artinya khiyar itu dijadikan syarat sewaktu akad oleh keduanya atau oleh salah seorang, seperti kata si penjual “saya jual barang ini dengan harga sekian dengan syarat khiyar dalam tiga hari atau atau kurang dari tiga hari”. Khiyar syarat boleh dilakukan dalam segala macam jual beli, kecuali barang yang wajib diterima ditempat jual beli, seperti barang-barang riba.masa khiyar syarat paling lama hanya tiga hari tiga malam, terhitung dari waktu akad.
Sabda Raasulullah Saw:“engkau boleh khiyar pada segala barang yang telah engkau beli selama tiga hari tiga malam.” (Riwayat Baihaqi dan Ibnu Majah).
Barang yang terjual itu sewaktu dalam masa khiyar kepunyaan orang yang mensyaratkan khiyar, kalau yang khiyar hanya salah seorang dari mereka. Tetapi kalau kedua-duanya mensyaratkan khiyar, maka barang itu tidak dipunyai oleh seorang pun dari keduanya. Jika jual beli sudah tetap akan diteruskan, barulah akan diketahui bahwa barang itu adalah kepunyaan pembeli mulai dari masa akad. Tetapi kalau jual beli tidak diteruskan, barang itu tetap kepunyaan si penjual. Untuk meneruskan jual beli atau tidaknya, hendaklah dengan lafaz yang jelas menunjukkan terus atau tidaknya jual beli.

3)      Khiyar ‘aibi (cacat)
Artinya si pembeli boleh mengembalikan barang yang dibelinya apabila pada barang itu terdapat suatu cacat yang mengurangi kualitas barang itu, atau mengurangi harganya, sedangkan biasanya barang yang seperti itu baik, dan sewaktu akad cacatnya itu sudah ada, tetapi si pembeli tidak tahu; atau terjadi sesudah akad, yaitu sebelum diterimanya. Keterangannya adalah ijma’ (sepakat ulama mujtahid).
Adapun cacat yang terjadi sesudah akad sebelum barang diterima, maka barang yang dijual sebelum diterima oleh si pembelimasih dalam tanggungan si penjual.kalau barang ada ditangan si pembeli, boleh dikembalikan serta diminta kembali uangnya. Akan tetapi, kalau barang itu sudah tidak ada lagi, misalnya yang dibeli itu kambing, sedangkan kambingnya sudah mati; atau yang dibeli itu tanah, sedangkan tanah itu sudah diwakafkannya , sesudah itu si pembeli baru mengetahui bahwa yang dibelinya itu ada cacatnya, maka dia berhak meminta ganti kerugian saja sebanyak kekurangan harga barang sebab adanya cacat itu.
Barang yang acact itu hendaknya segera dikembalikan, karena melalaikan hal ini berarti rida pada barang yang bercacat, kecuali kalau ada halangan. Yang dimaksud dengan “segera” disini adalah menurut kebiasaan yang berlaku. Kalau si penjual tidak ada (sedang berpergian) hendaklah jangan dipakai lagi. Jika dia pakai juga, hilanglah haknya untuk mengembalikan barang itu, dan hak meminta ganti rugi pun hilang pula.
Barang yang dikembalikan karena cacat tadi, apabila ada tambahannya sewaktu ditangan si pembeli, sedangkan tambahannya itu tidak dapat dipisahkan,misalnya binatang yang dibeli itu tadinya kurus, sekarang sudah gemuk, maka maka tambahan itu hendaklah dikembalikan juga bersama binatangnya; berarti si pembeli tidak boleh meminta ganti rugi. Akan tetapi, apabila tambahan itu dapat dipisahkan, misalnya anaknya, atau sewanya yang menghasilakan ditangan si pembeli, maka tambahan ini menjadi keuntungan si pembeli, berarti tidak ikut dikembalikan. Sebaliknya kalau tambahan itu terjadi dari uang (harga barang), maka menjadi keutungan si penjual. Berarti hasil uang itu semasa ditangan si penjual, kalau jual beli tidak diteruskan, tetap menjadi hak si penjual (tidak ikut bersama uang harga yang dikembalikan kepada si pembeli). Hukum ini berlaku kalau barang dikembalikan sesudah diterima.

g.      Bentuk-bentuk Ba’i (jual beli)
Dari berbagai tinjauan, ba’i dapat dibagi menjadi beberapa bentuk. Berikut ini bentuk-bentuk ba’i:
1)      Ditinjau dari sisi objek akad ba’i yang menjadi:
a)      Tukar-menukar uang dengan barang. Ini bentuk ba’i berdasarkan konotasinya. Misalnya: tukar-menukar mobil dengan rupiah.
b)      Tukar-menukar barang dengan barang, disebut juga dengan muqayadhah (barter). Misalnya tukar-menukar buku dengan jam.
c)      Tukar-menukar uang dengan uang, disebut juga dengan sharf. Misalnya: tukar-menukar rupiah dengan real.
2)      Ditinjau dari sisi waktu serah terima, ba’i dibagi menjadi empat bentuk:
a)      Barang dan uang serah terima dengan tunai. Ini bentuk asal ba’i.
b)      Uang dibayar di muka dan barang menyusul pada waktu yang disepakati, ini dinamakan salam.
c)      Barang diterima dimuka dan uang menyusul, disebut dengan ba’i ajal (jual beli tidak tunai). Misalnya jual beli kredit.
d)     Barang dan uang tidak tunai, disebut ba’i dain bi dain (jual beli utang dengan utang).
3)      Ditinjau dari cara menetapkan harga, ba’i dibagi menjadi:
a)      Ba’i musawamah (jual beli dengan cara tawar-menawar), yaitu jual beli dimana pihak penjual tidak menyebutkan harga pokok barang, akan tetapi menetapkan harga tertentu dan membuka peluang untuk ditawar. Ini bentuk asal ba’i.
b)      Ba’i amanah, yaitu jual beli dimana pihak penjual menyebutkan harga pokok barang lalu menyebutkan harga jual barang tesebut. Ba’i jenis ini terbagi lagi menjadi 3 bagian yaitu:
(1)   Ba’i murabahah, yaitu pihak penjual menyebutkan harga pokok barang dan laba.
(2)   Ba’i al-wadh’iyyah, yaitu pihak penjual menyebutkan harga pokok barang atau menjual barang tersebut dibawah harga pokok.
(3)   Ba’i tauliyah, yaitu penjual menyebutkan harga pokok dan menjualnya dengan harga tersebut.[6]

h.      Persyaratan dalam jual beli
Berbeda antara syarat jual beli dan persyaratan jual beli. Syarat sah jual beli itu ditentukan oleh agama, sedangkan memberikan persyaratan dalam jual beli ditetapkan oleh salah satu pihak pelaku transaksi. Bila syarat sah jual beli dilanggar, maka akad yang dilakukan tidak sah, namun bila persyaratan dalam jual beli yang dilanggar, maka akadnya tetap sah hanya saja pihak yang memberikan persyaratan berhak khiyar untuk melanjutkan atau membatalkan akad.
Hukum asal memberikan persyaratan dalam jual beli adalah sah dan mengikat, maka dibolehkannya bagi kedua belah pihak menambahkan persyaratan dari akad awal. Hal ini berdassarkan firman Allah: “hai orang-orang yang beriman penuhilah akad-akad itu”. (QS.al-Maidah/5:1). Dan hadits Rasulullah SAW: “Diriwayatkan dari Amru bin Auf bahwa Rasulullah SAW bersabda, “orang islam itu terikat dengan persyaratan (yang mereka buat) selagi syarat itu tidak mengharamkan yang halal dan menghalalkan yang haram.” (HR.Tarmidzi
Melihat hadits diatas, maka persyaratan dalam jual beli terbagi kepada dua, yaitu:
1)      Persyaratan yang dibenarkan agama.
2)      Persyaratan yang dilarang agama.
Adapun persyaratan yang dibenarkan agama, misalnya:[7]
1)      Persyaratan yang sesuai dengan tuntutan akad. Misalnya seseorang membeli mobil dan mempersyaratkan kepada penjual agar menanggung cacatnya.
2)      Persyaratan tausiqiyah, yaitu penjual mensyaratkan pembeli mengajukan dhamin (penjamin). Biasanya untuk jual beli ini tidak tunai (kredit).
3)      Persyaratan wasfiyah, yaitu penjual mengajukan persyaratan kriteria tertentu pada barang atau cara tertentu pada pembayaran. Misalnya pembeli mensyaratkan warna mobil yang diinginkannya hijau atau pembayarannya tidak tunai.
4)      Persyaratan manfaat pada barang. Misalnya penjual mobil mensyaratkan memakai mobil tersebut selama satu minggu sejak akad.
5)      Persyaratan taqyidiyyah yaitu salah satu pihak mensyaratkan hal yang bertentangan dengan kewenangan kepemilikan. Misalnya: penjual tanah mensyaratkan pembeli untuk tidak menjualnya keorang lain karena tanah tersebut bersebalahan dengan rumahnya dan ia tidak ingin mendapatkan tetangga yang kurang baik.
6)      Persyaratan akada fi akad, yaitu menggabungkan dua akad dalam satu akad. Misalnya: penjual berkata,”saya jual mobil ini kepadamu seharg Rp 40.000.000,- dengan syarat anda jual rumah anda kepada saya seharga Rp 150.000.000,-.
7)      Syarat jaza’i (persyaratan denda), yaitu persyaratan yang terdapat dalam suatu akad mengenai pengenaan denda apabila ketentuan akad tidak dipenuhi.
8)      Syarat takliqiyyah. Misalnya penjual berkata: “ saya jual mobil ini kepadamu dengan harga Rp 50.000.000,- jika orang tuaku setuju. Lalu pembeli berkata: “saya terima”. Dan jika orang tuanya setuju maka akad menjadi sah.
Adapun persyaratan yang dilarang agama misalnya:
1)      Persyaratan yang menggabungkan akad qardh dengan ba’i, misalnya pak ahmad meminjamkan uang kepada pak adi sebanyak Rp 50.000.000,- dan akan dikembalikan dalam jumlah yang sama dengan syarat pak adi menjual mobilnya kepada pak ahmad dengan harga Rp 30.000.000,-.
Persyaratan ini hukumnya haram karena merupakan media menuju Riba, karena harga mobil pak ahmad mungkin lebih mahal daripada tawaran pak adi, akan tetapi ia merasa sungkan menaikkan harga mobil mengingat pinjaman yang akan diberikannya. Rasulullah SAW bersabda: “tidak dihalalkan menggabung akad pinjaman uang dengan akad ba’i.” (HR. Abu Daud)
2)      Persyaratan yang bertentangan dengan tujuan akad. Misalnya seseorang menjual mobilnya dengan syarat kepemilikannya tidak berpindah kepada pembeli. Persyaratan ini bertentangan dengan tujuan akad, karena tujuan akad ba’i adalah perpindahan kepemilikan barang dari penjual kepada pembeli dan dengan adanya persyaratan yang tidak dibenarkan dan tidak wajib dipenuhi, berdasarkan sabda Nabi SAW: “setiap persyaratan yang bertentangan dengan agama Allah tidak sah sekalipun berjumlah 100 persyaratan”. (HR. Bukhari Muslim)[8]

2.      Riba
a.       Pengertian riba
Menurut bahasa, riba memiliki beberapa pengertian yaitu :
1)      Bertambah , karena salah satu perbuatan riba adalah meminta tambahan dari sesuatu yang dihutangkan.
2)      Berkembang, berbunga, karena salah satu perbuatan riba adalah membungakan harta uang atau yang lainnya yang dipinjamkan kepada orang lain.
3)      Berlebihan atau menggelembung, kata-kata ini berasal dari firman Allah (Q.S. Al-Haj:5) yang artinya, “Bumi jadi subur dan gembur”.
Sedangkan menurut istilah, yang dimaksud dengan riba menurut Al-Maliialah:
“Akad yang terjadi atas penukaran barang tertentu yang tidak diketahui perimbangannya menurut ukuran syara’, ketika berakad atau dengan mengakhirkan tukaran kedua belah pihak atau salah satu keduanya”.
Menurut Abbdurahman al-Jaiziri, yang dimaksud dengan riba adalah akad yang terjadi dengan penukaran tertentu, tidak diketahui sama atau tidak menurut aturan syara’  atau terlambat salah satunya.
Syaikh Muhammad Abduh berpendapat bahwa yang dimaksud dengan riba ialah penambahan-penambahan yang diisyaratkan oleh orang yang memiliki harta kepada orang yang meminjam hartanya (uangnya), karena pengunduran haji pembayaran oleh peminjam dari waktu yang telah ditentukan.



b.      Dasar hukum riba
Dasar hukum melakukan riba adalah haram menurut Al-Qur’an, sunnah dan ijma’ menurut ulama. Keharaman riba terkait dengan sistem bunga dalam jual beli yang bersifat komersial.
Di dalam melakukan transaksi atau jual beli, terdapat keuntungan atau bunga tinggi melebihi keumuman atau batas kewajaran, sehingga merugikan pihak-pihak tertentu. Fuad Moch. Fahruddin berpendapat bahwa riba adalah sebuah transaksi pemerasan.
Dasar hukum pengharaman riba menurut Al-Qur’an, sunnah dan ijma’ para ulama dalah sebagai berikut:
1)      Al-Qur’an
. . . إِنَمَا الْبَيْعُ مِثْلَ الرِّبَوا وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَمَ الرِّبَوا
“...Sesumgguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.” (Q.S. Al-Baqarah: 275)
يَمْحَقُ اللَّهُ الرِّبَوا وَيُرْبِى الصَّدَقَتِ وَاللَّهُ لاَ يُحِبُّ كُلَّ كَفَّارٍ أَثِيمٍ{276}
“Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang tetap dalam kekafiran, dan selalu berbuat dosa.
2)      Sunnah Rasulullah saw.

عَنْ جَابِرٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَ قَالَ: لَعَنَ رَسُوْلُ اللَّهُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اَكِلَ الرِّبَاوَمَوْ كِلَهُ وَكَاتِبَهُ وَشَاهِدَيْهِ وَقَالَ: هُمْ سَوَاءُ)متفق عليه)
. . . {275}
“Dari Jabir r.a. ia berkata, ‘Rasulullah saw. telah melaknati orang-orang yang memakan riba, orang yang menjadi wakilnya (orang yang memberi makan hasil riba), orang yang menuliskan, orang yang menyaksikannya, (dan selanjutnya), Nabi bersabda, mereka itu semua sama saja’.” (H.R. Muslim)

إِحْتَنِبُوْا السَّبْعَ الْمُوبِقَاتِ: قَالُوْا: يَارَسُوْلَ اللَّهُ وَمَاهُنَ قَالَ: الشِّرْكَ بِاللَّهِ ، وَالسِّحْرُ ، وَقَتْلُ النَّفْسِ الَّتِيْ حَرَّمَ اللَّهُ اِلاَّ بِالْحَقِّ وَاَكْلُ الرِّبَا ، وَاَكْلُ مَالَ الْيَتِيْمِ الزَّحْفِ وَقَدْفُ الْمُحْصَنَاتِ الْمُؤْمِنَاتِ الْغَافِلاَتِ)متفق عليه)


“Jauhilah tujuh hal yang membinasakan”. Para sahabat bertanya,”Apakah tujuh hal tersebut ya Rasulullah?” Rasulullah saw. bersabda, “Syirik kepada Allah, sihir, membunuh jiwa yang diharamkan Allah kecuali dengan alasan yang benar, memakan riba, memakan harta anak yatim, melarikan diri pada saat perang, dan menuduh berzina wanita yang suci, beriman, dan lupa (lupa dari maksiat).” (H.R. Bukhari dan Muslim)
3)      Ijma’para ulama
Para ulama sepakat bahwa seluruh umat Islam mengutuk dan mengharamkan riba. Riba adalah salah satu usaha mencari rizki dengan cara yang tidak benar dan dibenci Allah SWT. Praktik riba lebih mengutamakan keuntungan diri sendiri dengan mengorbankan orang lain. Riba akan menyulitkan hidup manusia, terutama mereka yang memerlukan pertolongan. Menimbulkan kesenjangan sosial yang semakin besar antara yang kaya dan miskin, serta dapat mengurangi rasa kemanusiaan untuk rela membantu. Oleh karena itu Islam mengharamkan riba.

c.       Sebab-sebab haramnya riba
Sebab-sebab haramnya riba ada banyak. Berikut ini rincian sebab-sebab tersebut:
1)      Karena Allah dan Rasul-Nya melarang atau mengharamkannya, firman Allah (Q.S. Al-Baqarah:275, Al-Imran:130, An-Nisa;161)
2)      Karena riba menghendaki pengambilan harta orang lain dengan tidak ada imbangannya, seperti seseorang menukarkan uang kertas Rp 10.000,00 dengan uang recehan senilai Rp. 9.950,00, maka uang senilai Rp. 50,00 adalah riba.
3)      Dengan melakukan riba, orang tersebut menjadi malas berusaha yang sah menurut syara’. Jika riba sudah mendarah daging pada seseorang, orang tersebut lebih suka beternak uang karena ternak uang akan mendapat keuntungan yang lebih besar daripada dagang dan dikerjakan tidak dengan susah payah.
4)      Riba menyebabkan putusnya perbuatan baik terhadap sesama manusia dengan cara utang-piutang atau menghilangkan faedah utang piutang sehingga riba lebih cenderung memeras orang miskin daripada menolong orang miskin.

d.      Macam-macam riba
Para ulama fiqih membagi riba menjadi empat macam, yaitu:
1)      Riba Fadl
Riba fadl adalah tukar menukar atau jual beli antara dua buah barang yang sama jenisnya, namun tidak sama ukuranya yang disyaratkan oleh orang yang menukarnya, atau jual beli yang mengandung unsur riba pada barang yang sejenis dengan adanya tambahan pada salah satu benda tersebut. Sebagai contohnya adalah tukar-menukar emas dengan emas atau beras dengan beras, dan ada kelebihan yang disyaratkan oleh orang yang menukarkan. Kelebihan yang disyaratkan itu disebut riba fadl.
Supaya tukar-menukar seperti ini tidak termasuk riba, maka harus ada tiga syarat yaitu:
a)      Barangyangditukarkantersebutharussama.
b)      Timbangan atau takarannya harus sama.
c)      Serah terima pada saat itu juga.
2)      Riba Nasi’ah
Riba nasi’ah yaitu tukar-menukar dua barang yang sejenis maupun yang tidak sejenis atau jual beli yang pembayarannya disyaratkan lebih oleh penjual dengan waktu yang dilambatkan.
Menurut ulama Hanafiyah, riba nasi’ah adalah memberikan kelebihan terhadap pembayaran dari yang ditangguhkan, memberikan kelebihan pada benda dibanding untung pada benda yang ditakar atau yang ditimbang yang berbeda jenis atau selain yang ditakar dan ditimbang yang sama jenisnya. Maksudnya adalah menjual barang dengan sejenisnya, tetapi yang satu lebih banyak dengan pembayaran diakhirkan, seperti menjual 1 kg beras dengan 1 ½ kg beras yang dibayarkan setelah dua bulan kemudian.



Kelebihan pembayaran yang disyaratkan inilah yang disebut riba nasi’ah.
عَنْ سَمُرَةَبْنِ جُنْدُبٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّالنَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنْ بَيْعِ الْحَيَوَانِ بِالْحَيَوَانِ نَسِيْءَةً
“Dari Samurah bin Jundub, sesungguhnya Nabi saw telah melarang jual beli binatang yang pembayarannya diakhirkan” (H.R Lima ahli hadist)
3)      Riba Qardi
Riba qardi adalah meminjamkan sesuatu dengan syarat ada keuntungan atau tambahan dari orang yang meminjam.
Misalnya Ali meminjam uang kepada Abbas sebesar Rp.10.000, kemudian Abbas mengharuskan kepada Ali untuk mengembalikan uang itu sebesar Rp. 11.000. inilah yang disebut riba qardi.
4)      Riba yad
Riba yad yaitu berpisah dari tempat akad jual beli sebelum serah terima. Contohnya, orang yang membeli suatu barang sebelum ia menerima barang tersebut dari penjual, penjual dan pembeli tersebut telah berpisah sebelum serah terima barang itu. Jual beli ini dinamakan riba yad.
Ulama Syafi’iyah mengatakan bahwa riba yad adalah jual beli yang mengakhirkan penyerahan (al-qabdu), yakni bercerai berai antara dua orang yang berakad sebelum serah terima, seperti menganggap sempurna jual beli antara gandum dan syair tanpa harus saling menyerahkan dan menerima ditempat akad.
Menurut ulama Syafi’iyah bahwa antara riba yad dan riba nasi’ah sama-sama terjadi pada pertukaran barang yang tidak jelas. Perbedaannya, riba yad mengakhirkan pemegang barang, sedangkan riba nasi’ah mengakhirkan hak dan ketika akad dinyatakan bahwa waktu pembayaran diakhirkan meskipun sebentar.
Dasar hadits yang mengungkapkan ketertolakan sistem ini adalah:
إِنَّمَا الرِّبَا فِى النَّسِيْئَةِ)رواه البحارى و مسلم )
“ Tidak ada riba kecuali pada riba nasi ” (H.R. Bukhari Muslim)




Ada syarat-syarat agar jual beli tidak menjadi riba, yaitu:
a)      Menjual sesuatu yang sejenis ada tiga syarat, yaitu:
(1)   Serupa timbangan dan banyaknya.
(2)   Tunai.
(3)   Timbang terima dalam akad(ijab kabul) sebelum meninggalkan majelis akad.
b)      Menjual sesuatu yang berlainan jenis ada dua syarat, yaitu:
(1)   Tunai.
(2)   Timbang terima dalam akad (ijab kabul) sebelum meninggalkan majelis akad.
(3)   Semua agama Samawi mengharamkan riba. Hal ini disebabkan karena riba mempunyai bahaya yang sangat berat. Diantaranya adalah:
(a)    Dapat menimbulkan permusuhan antar pribadi dan mengikis habis semangat kerja sama atau saling tolong-menolong, membenci orang yang mengutamakan kepentingan diri sendiri, serta yang mengeksploitasi.
(b)   Dapat menimbulkan tumbuh suburnya mental pemboros yang tidak mau bekerja keras, dan penimbunan harta di salah satu pihak. Islam menghargai kerja sama sebagai sarana pencarian nafkah.
(c)    Sifat riba sangat buruk sehingga Islam menyerukan agar manusia suka mendermakan harta kepada saudaranya dengan baik jika saudaranya membutuhkan harta.
Menurut sabagian ulama riba dibagi menjadi empat macam, yaitu fadli, nasa’ah, qardi, yad. Juga sebagian ulama lagi riba dibagi menjadi tiga bagian, yaitu, fadli, nasa, dan yad riba qardli dikategorikan pada riba nasa’.[9]
                                                                               
e.       Hal-hal yang menimbulkan riba
Jika seseorang menjual benda yang mungkin mendatangkan riba menurut jenisnya seperti seseorang menjual salah satu dari dua macam mata uang, yaitu mas dan perak dengan yang sejenis atau bahan makanan sperti beras dengan beras, gabah dengan gabah dan yang lainnya, maka diisyaratkan:
1)      sama nilainya (tamasul)
2)      sama ukurannya menurut syara’, baik timbangannya, takarannya maupun ukurannya,
3)      Sama-sama tunai (taqabuth) di majelis akad.
Berikut ini yang termasuk riba pertukaran :
1)      seseorang menukarkan langsung uang kertas Rp 10.000,00 dengan uang recehan senilai Rp. 9.950,00, maka uang senilai Rp. 50,00 adalah riba.
2)      Seseorang meminjamkan uang sebanyak Rp. 100.000,00 dengan syarat dikembalikan ditambah 10 persen dari pokok pinjaman, maka 10 persen dai pokok pinjaman adalah riba sebab tiak ada imbangnya
3)      Seseorng menukarkan seliter beras ketan dengan dua liter berasdog, maka pertukan tersebut adalah riba sebab beras harus ditukar dengan beras sejenis dan tidak boleh dilekan salah satunya. Jalan keluarnya ialah beras ketan dijual terlebih dahulu dan uangnya digunakan untuk membeli beras dolog.
4)      Seseorang yang akan membangun rumah membeli batu bata, uangnya diserahkan tanggal 5 Desember 1996, sedangkan batu batanya diambil nanti ketika pembangunan rumah dimulai, maka perbuatan itu adalah perbuatan riba sebab terlambat salah satunya dan berpisah sebelum serah terima barang.
5)      Seseorang menukar 5 gram emas 22 karat dengan 5 gram emas 12 karat termasuk riba walaupun sama ukurannya, tetapi berbeda nilai (harganya) atau menukar 5 gram emas 22 karat dengan 10 gram emas 12 karat yang harganya sama, juga termasuk riba sebab walaupun harganya sama ukurannya tidak sama.

f.       Dampak riba pada ekonomi
Kini riba yang dipinjamkan merupakan asas pengembangan harta pada perusahaan-perusahaan. Itu berarti akan memusatkan harta pada penguasaan para hartawan, padahal mereka hanya merupakan sebagian kecil dari seluruh anggota masyarakat, daya beli mereka pada hasil-hasil produksi juga kecil. Pada waktu yang bersamaan, pendapatan kaum buruh yang berupa upah atau yang lainnya juga kecil. Maka, daya beli kebanyakan anggota masyarakat kecil pula.
Hal ini merupakan masalah penting dalam ekonomi, yaitu siklus-siklus ekonomi. Hal ini berulang kali terjadi. Siklus-siklus ekonomi yang berulang terjadi adalah krisis ekonomi. Para ahli ekonomi berpendapat bahwa penyebab utama krisis ekonomi adalah bunga dibayar sebagai peminjaman modal atau dengan singkat disebut riba.[10]
Riba dapat menimbulkan over produksi. Riba membuat daya beli sebagian besar masyarakat lemah sehingga persediaan jasa dan barang semakin tertimbun, akibatnya perusahaan macet karena produksinya tidak laku, perusahaan mengurangi tenaga kerja untuk menghindari kerugian yang lebih besar , dan mengakibatkan adanya sekian jumlah penggangguran.

g.      Hikmah Dilarangnya Riba
Hikmah diharamkannya riba yaitu:
1)      Menghindari tipu daya diantara sesama manusia.
2)      Melindungi harta sesama muslim agar tidak dimakan dengan batil.
3)      Memotifasi orang muslim untuk menginvestasi hartanya pada usaha-usaha yang bersih dari penipuan, jauh dari apa saja yang dapat menimbulkan kesulitan dan kemarahan diantara kaum muslimin.
4)      Menutup seluruh pintu bagi orang muslim.
5)      Menjauhkan orang muslim dari sesuatu yang menyebabkan kebinasaan karena pemakan riba adalah orang yang zalim dan akibat kezaliman adalah kesusahan.
6)      Membuka pintu-pintu kebaikan di depan orang muslim agar ia mencari bekal untuk akhirat.
7)      Rajin mensyukuri nikmat Allah swt dengan cara memanfaatkan untuk kebaikan serta tidak menyia-nyiakan nikmat tersebut.
8)      Melakukan praktik jual beli dan utang piutang secara baik menurut Islam.

BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Berdasarkan penjelasan diatas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa pada intinya jual beli itu adalah tukar menukar barang dengan barang yang lain dengan cara yang tertentu (akad). Sedangkan Riba adalah salah satu usaha mencari rizeki dengan cara yang tidak benar dan dibenci Allah swt. Praktik riba lebih mengutamakan keuntungan diri sendiri dengan mengorbankan orang lain. Riba akan menyulitkan hidup manusia, terutama mereka yang memerlukan pertolongan, menimbulkan kesenjangan sosial yang semakin besar antara yang kaya dan miskin, serta dapat mengurangi rasa kemanusiaan untuk rela membantu. Oleh karena itu Islam mengharamkan riba.

B.     Saran
Dari uraian makalah di atas, pemakalah menyadari bahwa makalah ini belumlah sempurna, oleh karena itu pemateri mengharapkan kritik dan saran yang membangun yang dapat menjadikan lebih baik untuk kedepannya. Pemakalah sangat merasa senang sekali jika pembaca bersedia memberikan kririk dan saran dari makalah ini.
                                                                                                                         


















[1] Yusuf Alsubaily, Fiqh perbankan syariah: Pengantar Fiqh Muamalah dan Aplikasinya dalam Ekonomi Modern, Alih Bahasa: Erwandi Tarmizi, (TTp: Darul ilmi, t.th.), hlm.6.
[2] Zakaria al-Anshari, Hasyiah Ibn Abidin, (Beurit: Dar el-fikr, t.th.),hlm 2-4.
[3] Ibid.
[4] Abdullah bin Muhammad Ath-Thayyar, Loc. Cit., hlm.18.
[5] Ibnu Qudamah, Al-Mughni, (beurit: Dar el Fikr, t.th.), juz VI, hlm. 381.
[6] Yusuf al-Subaily, Loc. Cit., hlm.4-6
[7] Yusuf al-Subaily, Loc. Cit., hlm. 15-16
[8] Ibid, hlm.17.
[9] Lihat Sulaiman Rasyid , dalam ; Fiqh Islam, Attahiriyah, Jakarta, 1976 hlm.27.
[10] Sulaiman Rasyid, Ibid, hlm.261

Tidak ada komentar:

Posting Komentar