BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Masyarakat muslim pada umumnya sangat antusias dalam
urusan-urusan pribadi seperti sholat, puasa, atau haji. Sedangkan dalam
urusan-urusan sosial yang merupakan kehidupan itu sendiri tidak perduli,
seperti dalam urusan jual beli, riba dan lain-lain. Syariat islam sudah tidak
lagi diindahkan.
Dalam bermuamalat sehari-hari, umat islam sama
sekali tidak dapat dibedakan dari umat non-islam, mengacu pada tata cara yang
bahkan bertentangan dengan syariat islam.Rasulullah SAW pernah menperingatkan
kita: akan tiba suatu zaman ketika semua orang terlibat di dalam riba, bahkan
yang tidak bermaksud memakannyapun, ikut terkena debunya. Zaman itu sepertinya
telah sampai di tengah kita. Kegiatan jual-beli, utang-piutang, serta perdagangan
yang kita jalani sehari-hari, saat ini, tak ada yang tak terkait dengan riba. riba
merupakan salah satu usaha mencari rizeki dengan cara yang tidak benar dan
dibenci Allah swt.
Oleh sebab itu, agar masyarakat lebih mengetahui dengan pasti mengenai jual
beli dan riba. Maka kami akan menguraikan mengenai kedudukan jual beli dan
riba.
B. Rumusan
Masalah
Adapun rumusan masalah dari
penulisan makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Apa pengertian dari jual beli?
2. Apa saja rukun (unsur) dari jual
beli?
3. Apa hukum jual beli?
4. Apa saja syarat sahnya jual beli?
5. Apa yang dimaksud dengan saksi dalam
jual beli?
6. Apa
yang dimaaksud dengan khiyar dan
macam-macam khiyar dalam jual beli?
7. Apa
saja bentuk-bentuk Ba’i (jual beli)?
8. Apa
saja persyaratan dalam jual beli?
9. Apa
pengertian dari Riba?
10. Apa
dasar hukum riba?
11. Apa
saja sebab-sebab haramnya riba?
12. Apa
saja macam-macam riba?
13. Apa
saja hal-hal yang menimbulkan riba?
14. Apa
saja dampak riba pada ekonomi?
15. Apa
saja hikmah dilarangnya riba?
C. Tujuan
1. Agar
kita dapat mengetahui pengertian dari jual beli
2. Agar
kita dapat mengetahui apa saja rukun (unsur) jual beli
3. Agar
kita dapat mengetahui hukum dari jual beli
4. Agar
kita dapat mengetahui apa saja syarat sahnya jual beli
5. Agar
kita dapat mengetahui apa yang dimaksud dengan saksi dalam jual beli
6. Agar
kita dapat mengetahui apa yang dimaksud dengan khiyar dan macam-macam khiyar
7. Agar
kita dapat mengetahui apa saja bentuk-bentuk dari Ba’i (jual beli)
8. Agar
kita dapat mengetahui apa saja persyaratan dalam jual beli
9. Agar
kita dapat mengetahui pengertian dari Riba
10. Agar
kita dapat mengetahui dasar hukum riba
11. Agar
kita dapat mengetahui sebab-sebab haramnya riba
12. Agar
kita dapat mengetahui macam-macam riba
13. Agar
kita dapat mengetahui hal-hal apa saja yang menimbulkan riba
14. Agar
kita dapat mengetahui dampak riba pada ekonomi
15. Agar
kita dapat mengetahui apa saja hikmah dilarangnya riba
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Jual
Beli dan Riba
1. Jual
Beli
a. Pengertian
jual beli
Secara
terminologi fiqh jual beli disebut dengan al-ba’i
yang artinya menjual, mengganti, dan menukar sesuatu dengan sesuatu yang lain. Al-ba’i mengandung arti menjual,
sekaligus membeli atau jual beli.
Menurut
Hanafiah pengertian jual beli (al-bay)
secara definitif yaitu tukar-menukar harta benda atau sesuatu yang diinginkan
dengan sesatu yang sepadan melalui cara tertentu yang bermanfaat.
Menurut
Malikiyah, Syafi’iyah, dan Hanabilah, bahwa jual beli (al-ba’i) yaitu tukar menukar harta dengan dengan harta puladalam
bentuk pemindahan milik dan kepemilikan.
Menurut
pasal 20 ayat 2 Kompilasi hukum ekonomi syariah, ba’i adalah jual beli antara benda dan benda, atau pertukaran
antara benda dengan uang.
Berdasarkan
definisi diatas, maka pada intinya jual beli itu adalah tukar menukar barang.
Hal ini telah dipraktikkan oleh masyarakat primitif ketika uang belum digunakan
sebagai alat tukar-menukar barang, yaitu dengan sistem barter yang dalam
terminologi fiqh disebut dengan ba’i
al-muqayyadah.
b. Rukun
(unsur) jual beli
Rukun jual beli ada 3
yaitu:
1) Pelaku
transaksi (orang-orang yang berakad) yaitu penjual dan pembeli.
Syaratnya penjual dan
pembeli adalah
a)
Berakal,
agar dia tidak terkecoh. Orang yang gila atau bodoh tidak sah jual belinya.
b)
Dengan
kehendak sendiri (bukan dipaksa)
c)
Tidak
mubazir (pemboros), sebab harta orang yang mubazir itu
ditangan walinya.
d)
Baligh
(berumur 15 tahun keatas/dewasa). Anak kecil tidak sah jual belinya. Adapun
anak-anak yang sudah mengerti tetapi belum sampek umur dewasa, menurut pendapat
sebagian ulama, mereka diperbolehkan berjual beli barang yang kecil-kecil;
karena kalau tidak diperbolehkan, sudah tentu menjadi kesulitan dan kesukaran,
sedangkan agama islam sekali-kali tidak akan menetapkan peraturan yang
mendatangkan kesulitan kepada pemeluknya.
2) Objek
transaksi (ma’kud alaiah) yaitu harga dan barang
Syarat-syarat
benda-benda atau barang yang menjadi oblek akad ialah sebagai berikut:
a)
Suci
barang
najis tidak sah dijual dan tidak boleh dijadikan uang untuk dibelikan, seperti
kulit binatang atau bangkai yang belum disamak.
b)
Ada
manfaatnya menurut syara’. Tidak boleh menjual sesuatu yang
tidak ada manfaatnya menurut syara’, seperti menjual babi, kala, cicak dan
lainnya.Dilarang pula mengambil tukarannya karena hal itu termasuk dalam arti
menyia-nyiakan (memboroskan) harta yang terlarang dalam kitab suci.
c)
Barang
itu dapat diserahkan. Tidak sah menjual suatu barang yang
tidak dapat diserahkan kepada yang membeli, misalnya ikan dalam laut, barang
rampasan yang masih berada di tangan yang merampasnya, barang yang sedang
dijaminkan, sebab semua itu mengandung tipu daya (kecohan).
d)
barang
tersebut diketahui oleh si penjual dan si pembeli. Barang
yang diperjual belikan harus dapat diketahui banyaknya, beratnya, takarannya,
atau ukuran-ukuran yang lainnya, maka tidaklah sah jual beli yang menimbulkan
keraguan salah satu pikak.
e)
Jangan
ditaklikan, yaitu dikaitkan atau digantungkan kepada
hal-hal lain, seperti jika ayahku pergi, kujual motor ini kepadamu.
f)
Milik
sendiri, tidaklah sah menjual barang orang lain dengan tidak
se-izin pemiliknya atau barang-barang yang baru akan menjadi miliknya.
g)
Tidak
dibatasi waktunya, seperti perkataan kujual motor ini
kepada tuan selama setahun, maka penjualan tersebut tidak sah sebab jual beli
merupakan salah satu sebab pemilikkan secara penuh yang tidak dibatasi apa pun
kecuali ketentuan syara’.
3) Akad
(ijab kabul)
Akad ialah ikatan kata
antara penjual dan pembeli. Jual beli belum dikatakan sah sebelum ijab dan
kabul dilakukan sebab ijab kabul menunjukkan kerelaan (keridhaan). Ada 2 bentuk
akad yaitu:
a) Akad
dengan kata-kata, dinamakan dengan ijab kabul. Ijab yaitu kata-kata yang
diucapkan terlebih dahulu. Misalnya, penjual berkata: “baju ini saya jual
dengan harga Rp 10.000,-. Kabul yaitu kata-kata yang diucapkan kemudian.
Misalnya pembeli berkata: “barang saya terima”.
b) Akad
dengan perbuatan, dinamakan juga dengan mu’athah. Misalnya: pembeli memberikan
uang seharga Rp 10.000,- kepada penjual, kemudian mengambil barang yang senilai
itu tanpa terucap kata-kata dari kedua belah pihak.[1]
c. Hukum
Jual Beli
Jual
beli telah disahkan oleh Al-Qur’an, Sunnah, dan Ijma’. Ada pun dalil Al-Qur’an
adalah QS.al-Baqarah/2:275:”Allah
telah mengharamkan jual beli dan mengharamkan riba”. Dan firman Allah QS. an-Nisaa’/4:29:”hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu sekalian memakan harta
sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku
dengan suka sama suka diantara kamu.”
Adapun
dalil sunah di antaranya adalah Hadits yang diriwayatkan dari Rasulullah SAW,
beliau bersabda: “sesungguhnya jual beli
itu atas dasar saling ridha”. Ketika ditanya usaha apa yang paling utama,
beliau menjawab: “usaha seseorang dengan tangannya sendiri, dan setia jual beli
yang mabrur.” Jual beli yang mabrur adalah setiap jual beli yang tidak ada
dusta dan khianat.[2]
Adapun
dalil ijma’, adalah bahwa ulama sepakat tentang halalnya jual beli dan haramnya
riba, berdasarkan ayat dan hadits tersebut.
d. Syarat
Sahnya Jual Beli
Suatu jual beli tidak
sah bila tidak terpenuhi dalam suatu akad tujuh syarat yaitu:
1) Saling
rela antara kedua belah pihak. Kerelaan antara kedua belah pihak untuk melakukan
transaksi syarat mutlak keabsahannya, berdasarkan firman Allah SWT. Dalam QS. an-Nisaa’/4:29, dan hadits Nabi Riwayat
Ibnu Majah: “jual beli haruslah atas
dasar kerelaan (suka sama suka).”
2) Pelaku
akad adalah orang yang dibolehkan melakukan akad, yaitu orang yang telah
baligh, berakal, dan mengerti. Maka akad yang dilakukan oleh anak dibawah umur,
orang gila, atau idiot tidak sah kecuali dengan seizin walinya. Keciali akad
yang bernilai rendah seperti membeli kembang gula, korek api, dan lain-lain.
Hal ini berdasarkan firman Allah QS. an-Nisaa’/4:5
dan 6).
3) Harta
yang menjadi objek transaksi telah dimiliki sebelumnya oleh kedua belah pihak.
Maka, tidak sah jual beli barang yang belum dimiliki tanpa seizin pemiliknya.
Hal ini berdasarkan Hadits Nabi SAW Riwayat Abu Daud dan Tirmidzi, sebagai
berikut”janganlah engkau jual barang yang
bukan milikmu.”
4) Objek
transaksi adalah barang yang dibolehkan agama. Maka, tidak boleh menjual barang
haram seperti khamar (minuman keras)
dan lain-lain. Hal ini berdasarkan hadits Nabi SAW Riwayat Ahmad: “sesungguhnya allah bila mengharamkan suatu
barang juga mengharamkan nilai jual barang tersebut.”
5) Objek
transaksi adalah barang yang biasa diserahterimakan. Maka tidak sah jual mobil
hilang, burung diangkasa karena tidak dapat diserahterimakan. Hal ini
berdasarkan hadits Nabi Riwayat Muslim: “Dari
Abu Hurairah r.a. bahwa Nabi Muhammad SAW melarang jual beliu gharar
(penipuan).
6) Objek
jual beli diketahui kedua belah pihak saat akad. Maka tidak sah menjual barang
yang tidak jelas.
7) Harga
harus jelas saat transaksi. Maka tidak sah jual beli dimana penjual mengatakan:
“aku jual mobil ini kepadamu dengan harga yang akan kita sepakati nantinya”. [3]
e. Saksi
dalam jual beli
Jual beli dianjurkan di
hadapan saksi, berdasarkan firman Allah QS.al-baqarah/2:282:
“dan persaksikanlah apabila kalian berjual beli”.
Demikian
ini karena jual beli yang dilakukan dihadapan saksi dapat menghindarkan terjadinya perselisihan dan
menjauhkan diri dari sikap saling menyangkal. Oleh karena itu, lebih baik
dilakukan, khususnya bila barang dagangan tersebut mempunyai nilai yang sangat
penting (mahal). Bila barang dagangan itu nilainya sedikit, maka tidak
dianjurkan mempersaksikannya. Ini adalah pendapat imam Syafi’i, Hanafiyah,
Ishak, dan Ayyub.[4]
Adapun
menurut Ibnu Qudamah, bahwa mendatangkan saksi dalam jual beli adalah kewajiban
yang tidak boleh ditinggalkan. Pendapat ini diriwayatkan dari Ibnu Abbas dan
diikuti oleh Atha dan Jabir.[5]
f. Khiyar
dalam jual beli
Khiyar
artinya “boleh memilih antara dua, meneruskan akad jual beli atau mengurungkan
(menarik kembali, tidak jadi jaul beli)”. Diadakan khiyar oleh syara’ agar kedua orang yang berjual beli dapat
memikirkan kemaslahatan masing-masing lebih jauh, supaya tidak akan terjadi
penyesalan dikemudian hari lantaran merasa tertipu.
Khiyar ada 3 macam:
1) Khiyar majelis
Artinya si pembeli dan
si penjual boleh melilih antara dua perkara tadi selama keduanya masih tetap
berada ditempat jual beli.
Sabda Rasulullah Saw:“dua orang yang berjual beli boleh memilih
(akan meneruskan jual beli mereka atau tidak) selama keduanya belum bercerai
dari tempat akad.” (Riwayat Bukhari dan Muslim)
Habislah khiyar majelis apabila,
a) Keduanya
memilih akan meneruskan akad. Jika salah seorang dari keduanya memilih akan
meneruskan akad, habislah khiyar dari
pihaknya, tetapi hak yang lain masih tetap.
b) Keduanya
terpisah dari tempat jual beli. arti berpisah ialah menurut kebiasaan. Apabila
kebiasaan telah menghukum bahwa keadaan keduanya sudah berpisah, tetaplah jual
beli antara keduanya. Kalau kebiasaan mengatakan belum berpisah masih
terbukalah pintu khiyar antara
keduanya. Kalau keduanya berselisih, misalnya seseorang mengatakan sudah berpisah,
sedangkan yang lain mengatakan belum, yang mengatakan belum hendaknya
dibenarkan dengan sumpahnya, karena yang asal belum berpisah.
2)
Khiyar
syarat
Artinya
khiyar itu dijadikan syarat sewaktu akad oleh keduanya atau oleh salah seorang,
seperti kata si penjual “saya jual barang ini dengan harga sekian dengan syarat
khiyar dalam tiga hari atau atau
kurang dari tiga hari”. Khiyar syarat
boleh dilakukan dalam segala macam jual beli, kecuali barang yang wajib
diterima ditempat jual beli, seperti barang-barang riba.masa khiyar syarat paling lama hanya tiga
hari tiga malam, terhitung dari waktu akad.
Sabda
Raasulullah Saw:“engkau boleh khiyar pada
segala barang yang telah engkau beli selama tiga hari tiga malam.” (Riwayat
Baihaqi dan Ibnu Majah).
Barang
yang terjual itu sewaktu dalam masa khiyar
kepunyaan orang yang mensyaratkan khiyar,
kalau yang khiyar hanya salah seorang
dari mereka. Tetapi kalau kedua-duanya mensyaratkan khiyar, maka barang itu tidak dipunyai oleh seorang pun dari
keduanya. Jika jual beli sudah tetap akan diteruskan, barulah akan diketahui
bahwa barang itu adalah kepunyaan pembeli mulai dari masa akad. Tetapi kalau
jual beli tidak diteruskan, barang itu tetap kepunyaan si penjual. Untuk
meneruskan jual beli atau tidaknya, hendaklah dengan lafaz yang jelas
menunjukkan terus atau tidaknya jual beli.
3)
Khiyar
‘aibi (cacat)
Artinya
si pembeli boleh mengembalikan barang yang dibelinya apabila pada barang itu
terdapat suatu cacat yang mengurangi kualitas barang itu, atau mengurangi
harganya, sedangkan biasanya barang yang seperti itu baik, dan sewaktu akad
cacatnya itu sudah ada, tetapi si pembeli tidak tahu; atau terjadi sesudah
akad, yaitu sebelum diterimanya. Keterangannya adalah ijma’ (sepakat ulama
mujtahid).
Adapun
cacat yang terjadi sesudah akad sebelum barang diterima, maka barang yang
dijual sebelum diterima oleh si pembelimasih dalam tanggungan si penjual.kalau
barang ada ditangan si pembeli, boleh dikembalikan serta diminta kembali
uangnya. Akan tetapi, kalau barang itu sudah tidak ada lagi, misalnya yang
dibeli itu kambing, sedangkan kambingnya sudah mati; atau yang dibeli itu
tanah, sedangkan tanah itu sudah diwakafkannya , sesudah itu si pembeli baru
mengetahui bahwa yang dibelinya itu ada cacatnya, maka dia berhak meminta ganti
kerugian saja sebanyak kekurangan harga barang sebab adanya cacat itu.
Barang
yang acact itu hendaknya segera dikembalikan, karena melalaikan hal ini berarti
rida pada barang yang bercacat, kecuali kalau ada halangan. Yang dimaksud
dengan “segera” disini adalah menurut kebiasaan yang berlaku. Kalau si penjual
tidak ada (sedang berpergian) hendaklah jangan dipakai lagi. Jika dia pakai
juga, hilanglah haknya untuk mengembalikan barang itu, dan hak meminta ganti
rugi pun hilang pula.
Barang
yang dikembalikan karena cacat tadi, apabila ada tambahannya sewaktu ditangan
si pembeli, sedangkan tambahannya itu tidak dapat dipisahkan,misalnya binatang
yang dibeli itu tadinya kurus, sekarang sudah gemuk, maka maka tambahan itu
hendaklah dikembalikan juga bersama binatangnya; berarti si pembeli tidak boleh
meminta ganti rugi. Akan tetapi, apabila tambahan itu dapat dipisahkan,
misalnya anaknya, atau sewanya yang menghasilakan ditangan si pembeli, maka
tambahan ini menjadi keuntungan si pembeli, berarti tidak ikut dikembalikan.
Sebaliknya kalau tambahan itu terjadi dari uang (harga barang), maka menjadi
keutungan si penjual. Berarti hasil uang itu semasa ditangan si penjual, kalau
jual beli tidak diteruskan, tetap menjadi hak si penjual (tidak ikut bersama
uang harga yang dikembalikan kepada si pembeli). Hukum ini berlaku kalau barang
dikembalikan sesudah diterima.
g. Bentuk-bentuk
Ba’i (jual beli)
Dari berbagai tinjauan,
ba’i dapat dibagi menjadi beberapa bentuk. Berikut ini bentuk-bentuk ba’i:
1) Ditinjau
dari sisi objek akad ba’i yang
menjadi:
a) Tukar-menukar
uang dengan barang. Ini bentuk ba’i berdasarkan
konotasinya. Misalnya: tukar-menukar mobil dengan rupiah.
b) Tukar-menukar
barang dengan barang, disebut juga dengan muqayadhah
(barter). Misalnya tukar-menukar buku dengan jam.
c) Tukar-menukar
uang dengan uang, disebut juga dengan sharf.
Misalnya: tukar-menukar rupiah dengan real.
2) Ditinjau
dari sisi waktu serah terima, ba’i dibagi
menjadi empat bentuk:
a) Barang
dan uang serah terima dengan tunai. Ini bentuk asal ba’i.
b) Uang
dibayar di muka dan barang menyusul pada waktu yang disepakati, ini dinamakan salam.
c) Barang
diterima dimuka dan uang menyusul, disebut dengan ba’i ajal (jual beli tidak tunai). Misalnya jual beli kredit.
d) Barang
dan uang tidak tunai, disebut ba’i dain
bi dain (jual beli utang dengan utang).
3) Ditinjau
dari cara menetapkan harga, ba’i dibagi menjadi:
a) Ba’i musawamah
(jual beli dengan cara tawar-menawar), yaitu jual beli dimana pihak penjual
tidak menyebutkan harga pokok barang, akan tetapi menetapkan harga tertentu dan
membuka peluang untuk ditawar. Ini bentuk asal ba’i.
b) Ba’i amanah,
yaitu jual beli dimana pihak penjual menyebutkan harga pokok barang lalu menyebutkan
harga jual barang tesebut. Ba’i jenis
ini terbagi lagi menjadi 3 bagian yaitu:
(1)
Ba’i
murabahah, yaitu pihak penjual menyebutkan harga pokok barang
dan laba.
(2)
Ba’i
al-wadh’iyyah, yaitu pihak penjual menyebutkan harga
pokok barang atau menjual barang tersebut dibawah harga pokok.
h. Persyaratan
dalam jual beli
Berbeda
antara syarat jual beli dan persyaratan jual beli. Syarat sah jual beli itu
ditentukan oleh agama, sedangkan memberikan persyaratan dalam jual beli
ditetapkan oleh salah satu pihak pelaku transaksi. Bila syarat sah jual beli
dilanggar, maka akad yang dilakukan tidak sah, namun bila persyaratan dalam
jual beli yang dilanggar, maka akadnya tetap sah hanya saja pihak yang
memberikan persyaratan berhak khiyar untuk melanjutkan atau membatalkan akad.
Hukum
asal memberikan persyaratan dalam jual beli adalah sah dan mengikat, maka
dibolehkannya bagi kedua belah pihak menambahkan persyaratan dari akad awal.
Hal ini berdassarkan firman Allah: “hai orang-orang yang beriman penuhilah
akad-akad itu”. (QS.al-Maidah/5:1). Dan hadits Rasulullah SAW: “Diriwayatkan
dari Amru bin Auf bahwa Rasulullah SAW bersabda, “orang islam itu terikat
dengan persyaratan (yang mereka buat) selagi syarat itu tidak mengharamkan yang
halal dan menghalalkan yang haram.” (HR.Tarmidzi
Melihat hadits diatas,
maka persyaratan dalam jual beli terbagi kepada dua, yaitu:
1) Persyaratan
yang dibenarkan agama.
2) Persyaratan
yang dilarang agama.
Adapun
persyaratan yang dibenarkan agama, misalnya:[7]
1) Persyaratan
yang sesuai dengan tuntutan akad. Misalnya seseorang membeli mobil dan
mempersyaratkan kepada penjual agar menanggung cacatnya.
2) Persyaratan
tausiqiyah, yaitu penjual mensyaratkan pembeli mengajukan dhamin (penjamin).
Biasanya untuk jual beli ini tidak tunai (kredit).
3) Persyaratan
wasfiyah, yaitu penjual mengajukan persyaratan kriteria tertentu pada barang
atau cara tertentu pada pembayaran. Misalnya pembeli mensyaratkan warna mobil
yang diinginkannya hijau atau pembayarannya tidak tunai.
4) Persyaratan
manfaat pada barang. Misalnya penjual mobil mensyaratkan memakai mobil tersebut
selama satu minggu sejak akad.
5) Persyaratan
taqyidiyyah yaitu salah satu pihak mensyaratkan hal yang bertentangan dengan
kewenangan kepemilikan. Misalnya: penjual tanah mensyaratkan pembeli untuk
tidak menjualnya keorang lain karena tanah tersebut bersebalahan dengan
rumahnya dan ia tidak ingin mendapatkan tetangga yang kurang baik.
6) Persyaratan
akada fi akad, yaitu menggabungkan dua akad dalam satu akad. Misalnya: penjual
berkata,”saya jual mobil ini kepadamu seharg Rp 40.000.000,- dengan syarat anda
jual rumah anda kepada saya seharga Rp 150.000.000,-.
7) Syarat
jaza’i (persyaratan denda), yaitu persyaratan yang terdapat dalam suatu akad
mengenai pengenaan denda apabila ketentuan akad tidak dipenuhi.
8) Syarat
takliqiyyah. Misalnya penjual berkata: “ saya jual mobil ini kepadamu dengan
harga Rp 50.000.000,- jika orang tuaku setuju. Lalu pembeli berkata: “saya
terima”. Dan jika orang tuanya setuju maka akad menjadi sah.
Adapun persyaratan yang
dilarang agama misalnya:
1) Persyaratan
yang menggabungkan akad qardh dengan ba’i, misalnya pak ahmad meminjamkan uang
kepada pak adi sebanyak Rp 50.000.000,- dan akan dikembalikan dalam jumlah yang
sama dengan syarat pak adi menjual mobilnya kepada pak ahmad dengan harga Rp
30.000.000,-.
Persyaratan ini
hukumnya haram karena merupakan media menuju Riba, karena harga mobil pak ahmad
mungkin lebih mahal daripada tawaran pak adi, akan tetapi ia merasa sungkan
menaikkan harga mobil mengingat pinjaman yang akan diberikannya. Rasulullah SAW
bersabda: “tidak dihalalkan menggabung akad pinjaman uang dengan akad ba’i.”
(HR. Abu Daud)
2) Persyaratan
yang bertentangan dengan tujuan akad. Misalnya seseorang menjual mobilnya
dengan syarat kepemilikannya tidak berpindah kepada pembeli. Persyaratan ini
bertentangan dengan tujuan akad, karena tujuan akad ba’i adalah perpindahan
kepemilikan barang dari penjual kepada pembeli dan dengan adanya persyaratan
yang tidak dibenarkan dan tidak wajib dipenuhi, berdasarkan sabda Nabi SAW:
“setiap persyaratan yang bertentangan dengan agama Allah tidak sah sekalipun
berjumlah 100 persyaratan”. (HR. Bukhari Muslim)[8]
2. Riba
a. Pengertian
riba
Menurut bahasa, riba
memiliki beberapa pengertian yaitu :
1) Bertambah
, karena salah satu perbuatan riba adalah meminta tambahan dari sesuatu yang
dihutangkan.
2) Berkembang,
berbunga, karena salah satu perbuatan riba adalah membungakan harta uang atau
yang lainnya yang dipinjamkan kepada orang lain.
3) Berlebihan
atau menggelembung, kata-kata ini berasal dari firman Allah (Q.S. Al-Haj:5)
yang artinya, “Bumi jadi subur dan gembur”.
Sedangkan
menurut istilah, yang dimaksud dengan riba menurut Al-Maliialah:
“Akad yang terjadi atas
penukaran barang tertentu yang tidak diketahui perimbangannya menurut ukuran
syara’, ketika berakad atau dengan mengakhirkan tukaran kedua belah pihak atau
salah satu keduanya”.
Menurut
Abbdurahman al-Jaiziri, yang dimaksud dengan riba adalah akad yang terjadi
dengan penukaran tertentu, tidak diketahui sama atau tidak menurut aturan
syara’ atau terlambat salah satunya.
Syaikh
Muhammad Abduh berpendapat bahwa yang dimaksud dengan riba ialah
penambahan-penambahan yang diisyaratkan oleh orang yang memiliki harta kepada
orang yang meminjam hartanya (uangnya), karena pengunduran haji pembayaran oleh
peminjam dari waktu yang telah ditentukan.
b. Dasar hukum
riba
Dasar hukum
melakukan riba adalah haram menurut Al-Qur’an, sunnah dan ijma’ menurut ulama.
Keharaman riba terkait dengan sistem bunga dalam jual beli yang bersifat
komersial.
Di dalam
melakukan transaksi atau jual beli, terdapat keuntungan atau bunga tinggi
melebihi keumuman atau batas kewajaran, sehingga merugikan pihak-pihak
tertentu. Fuad Moch. Fahruddin berpendapat bahwa riba adalah sebuah transaksi
pemerasan.
Dasar hukum
pengharaman riba menurut Al-Qur’an, sunnah dan ijma’ para ulama dalah sebagai
berikut:
1) Al-Qur’an
. . . إِنَمَا الْبَيْعُ مِثْلَ الرِّبَوا وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَمَ الرِّبَوا
“...Sesumgguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.” (Q.S. Al-Baqarah: 275)
يَمْحَقُ اللَّهُ الرِّبَوا وَيُرْبِى الصَّدَقَتِ وَاللَّهُ لاَ يُحِبُّ كُلَّ كَفَّارٍ أَثِيمٍ{276}
“Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang tetap dalam kekafiran, dan selalu berbuat dosa.
. . . إِنَمَا الْبَيْعُ مِثْلَ الرِّبَوا وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَمَ الرِّبَوا
“...Sesumgguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.” (Q.S. Al-Baqarah: 275)
يَمْحَقُ اللَّهُ الرِّبَوا وَيُرْبِى الصَّدَقَتِ وَاللَّهُ لاَ يُحِبُّ كُلَّ كَفَّارٍ أَثِيمٍ{276}
“Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang tetap dalam kekafiran, dan selalu berbuat dosa.
2) Sunnah
Rasulullah saw.
عَنْ جَابِرٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَ قَالَ: لَعَنَ رَسُوْلُ اللَّهُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اَكِلَ الرِّبَاوَمَوْ كِلَهُ وَكَاتِبَهُ وَشَاهِدَيْهِ وَقَالَ: هُمْ سَوَاءُ)متفق عليه)
. . . {275}
“Dari Jabir r.a. ia berkata, ‘Rasulullah saw. telah melaknati orang-orang yang memakan riba, orang yang menjadi wakilnya (orang yang memberi makan hasil riba), orang yang menuliskan, orang yang menyaksikannya, (dan selanjutnya), Nabi bersabda, mereka itu semua sama saja’.” (H.R. Muslim)
إِحْتَنِبُوْا السَّبْعَ الْمُوبِقَاتِ: قَالُوْا: يَارَسُوْلَ اللَّهُ وَمَاهُنَ قَالَ: الشِّرْكَ بِاللَّهِ ، وَالسِّحْرُ ، وَقَتْلُ النَّفْسِ الَّتِيْ حَرَّمَ اللَّهُ اِلاَّ بِالْحَقِّ وَاَكْلُ الرِّبَا ، وَاَكْلُ مَالَ الْيَتِيْمِ الزَّحْفِ وَقَدْفُ الْمُحْصَنَاتِ الْمُؤْمِنَاتِ الْغَافِلاَتِ)متفق عليه)
“Jauhilah tujuh hal yang membinasakan”. Para sahabat bertanya,”Apakah tujuh hal tersebut ya Rasulullah?” Rasulullah saw. bersabda, “Syirik kepada Allah, sihir, membunuh jiwa yang diharamkan Allah kecuali dengan alasan yang benar, memakan riba, memakan harta anak yatim, melarikan diri pada saat perang, dan menuduh berzina wanita yang suci, beriman, dan lupa (lupa dari maksiat).” (H.R. Bukhari dan Muslim)
3)
Ijma’para ulama
Para ulama sepakat bahwa seluruh
umat Islam mengutuk dan mengharamkan riba. Riba adalah salah satu usaha mencari
rizki dengan cara yang tidak benar dan dibenci Allah SWT. Praktik riba lebih
mengutamakan keuntungan diri sendiri dengan mengorbankan orang lain. Riba akan
menyulitkan hidup manusia, terutama mereka yang memerlukan pertolongan.
Menimbulkan kesenjangan sosial yang semakin besar antara yang kaya dan miskin,
serta dapat mengurangi rasa kemanusiaan untuk rela membantu. Oleh karena itu
Islam mengharamkan riba.
c. Sebab-sebab
haramnya riba
Sebab-sebab haramnya
riba ada banyak. Berikut ini rincian sebab-sebab tersebut:
1) Karena
Allah dan Rasul-Nya melarang atau mengharamkannya, firman Allah (Q.S.
Al-Baqarah:275, Al-Imran:130, An-Nisa;161)
2) Karena
riba menghendaki pengambilan harta orang lain dengan tidak ada imbangannya,
seperti seseorang menukarkan uang kertas Rp 10.000,00 dengan uang recehan
senilai Rp. 9.950,00, maka uang senilai Rp. 50,00 adalah riba.
3) Dengan
melakukan riba, orang tersebut menjadi malas berusaha yang sah menurut syara’.
Jika riba sudah mendarah daging pada seseorang, orang tersebut lebih suka
beternak uang karena ternak uang akan mendapat keuntungan yang lebih besar
daripada dagang dan dikerjakan tidak dengan susah payah.
4) Riba
menyebabkan putusnya perbuatan baik terhadap sesama manusia dengan cara utang-piutang
atau menghilangkan faedah utang piutang sehingga riba lebih cenderung memeras
orang miskin daripada menolong orang miskin.
d. Macam-macam
riba
Para ulama fiqih membagi riba
menjadi empat macam, yaitu:
1)
Riba Fadl
Riba fadl
adalah tukar menukar atau jual beli antara dua buah barang yang sama jenisnya,
namun tidak sama ukuranya yang disyaratkan oleh orang yang menukarnya, atau
jual beli yang mengandung unsur riba pada barang yang sejenis dengan adanya
tambahan pada salah satu benda tersebut. Sebagai contohnya adalah tukar-menukar
emas dengan emas atau beras dengan beras, dan ada kelebihan yang disyaratkan
oleh orang yang menukarkan. Kelebihan yang disyaratkan itu disebut riba fadl.
Supaya tukar-menukar seperti ini
tidak termasuk riba, maka harus ada tiga syarat yaitu:
a)
Barangyangditukarkantersebutharussama.
b)
Timbangan atau takarannya harus sama.
c)
Serah terima pada saat itu juga.
2)
Riba Nasi’ah
Riba nasi’ah
yaitu tukar-menukar dua barang yang sejenis maupun yang tidak sejenis atau jual
beli yang pembayarannya disyaratkan lebih oleh penjual dengan waktu yang
dilambatkan.
Menurut
ulama Hanafiyah, riba nasi’ah adalah memberikan kelebihan terhadap pembayaran
dari yang ditangguhkan, memberikan kelebihan pada benda dibanding untung pada
benda yang ditakar atau yang ditimbang yang berbeda jenis atau selain yang
ditakar dan ditimbang yang sama jenisnya. Maksudnya adalah menjual barang
dengan sejenisnya, tetapi yang satu lebih banyak dengan pembayaran diakhirkan,
seperti menjual 1 kg beras dengan 1 ½ kg beras yang dibayarkan setelah dua
bulan kemudian.
Kelebihan
pembayaran yang disyaratkan inilah yang disebut riba nasi’ah.
عَنْ سَمُرَةَبْنِ جُنْدُبٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّالنَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنْ بَيْعِ الْحَيَوَانِ بِالْحَيَوَانِ نَسِيْءَةً
“Dari Samurah bin Jundub, sesungguhnya Nabi saw telah melarang jual beli binatang yang pembayarannya diakhirkan” (H.R Lima ahli hadist)
عَنْ سَمُرَةَبْنِ جُنْدُبٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّالنَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنْ بَيْعِ الْحَيَوَانِ بِالْحَيَوَانِ نَسِيْءَةً
“Dari Samurah bin Jundub, sesungguhnya Nabi saw telah melarang jual beli binatang yang pembayarannya diakhirkan” (H.R Lima ahli hadist)
3)
Riba Qardi
Riba qardi
adalah meminjamkan sesuatu dengan syarat ada keuntungan atau tambahan dari
orang yang meminjam.
Misalnya Ali
meminjam uang kepada Abbas sebesar Rp.10.000, kemudian Abbas mengharuskan
kepada Ali untuk mengembalikan uang itu sebesar Rp. 11.000. inilah yang disebut
riba qardi.
4)
Riba yad
Riba yad
yaitu berpisah dari tempat akad jual beli sebelum serah terima. Contohnya,
orang yang membeli suatu barang sebelum ia menerima barang tersebut dari
penjual, penjual dan pembeli tersebut telah berpisah sebelum serah terima
barang itu. Jual beli ini dinamakan riba yad.
Ulama
Syafi’iyah mengatakan bahwa riba yad adalah jual beli yang mengakhirkan
penyerahan (al-qabdu), yakni bercerai berai antara dua orang yang berakad
sebelum serah terima, seperti menganggap sempurna jual beli antara gandum dan
syair tanpa harus saling menyerahkan dan menerima ditempat akad.
Menurut
ulama Syafi’iyah bahwa antara riba yad dan riba nasi’ah sama-sama terjadi pada
pertukaran barang yang tidak jelas. Perbedaannya, riba yad mengakhirkan
pemegang barang, sedangkan riba nasi’ah mengakhirkan hak dan ketika akad
dinyatakan bahwa waktu pembayaran diakhirkan meskipun sebentar.
Dasar hadits
yang mengungkapkan ketertolakan sistem ini adalah:
إِنَّمَا الرِّبَا فِى النَّسِيْئَةِ)رواه البحارى و مسلم )
“ Tidak ada riba kecuali pada riba nasi ” (H.R. Bukhari Muslim)
إِنَّمَا الرِّبَا فِى النَّسِيْئَةِ)رواه البحارى و مسلم )
“ Tidak ada riba kecuali pada riba nasi ” (H.R. Bukhari Muslim)
Ada syarat-syarat agar jual beli
tidak menjadi riba, yaitu:
a)
Menjual sesuatu yang sejenis ada tiga syarat, yaitu:
(1)
Serupa timbangan dan banyaknya.
(2)
Tunai.
(3)
Timbang terima dalam akad(ijab kabul) sebelum
meninggalkan majelis akad.
b)
Menjual sesuatu yang berlainan jenis ada dua syarat, yaitu:
(1)
Tunai.
(2)
Timbang terima dalam akad (ijab kabul) sebelum
meninggalkan majelis akad.
(3)
Semua agama Samawi mengharamkan riba. Hal ini
disebabkan karena riba mempunyai bahaya yang sangat berat. Diantaranya adalah:
(a)
Dapat menimbulkan permusuhan antar pribadi dan
mengikis habis semangat kerja sama atau saling tolong-menolong, membenci orang
yang mengutamakan kepentingan diri sendiri, serta yang mengeksploitasi.
(b)
Dapat menimbulkan tumbuh suburnya mental pemboros yang
tidak mau bekerja keras, dan penimbunan harta di salah satu pihak. Islam
menghargai kerja sama sebagai sarana pencarian nafkah.
(c)
Sifat riba sangat buruk sehingga Islam menyerukan agar
manusia suka mendermakan harta kepada saudaranya dengan baik jika saudaranya
membutuhkan harta.
Menurut sabagian ulama riba
dibagi menjadi empat macam, yaitu fadli, nasa’ah,
qardi, yad. Juga sebagian ulama lagi riba dibagi menjadi tiga bagian,
yaitu, fadli, nasa, dan yad riba qardli dikategorikan pada riba nasa’.[9]
e. Hal-hal
yang menimbulkan riba
Jika
seseorang menjual benda yang mungkin mendatangkan riba menurut jenisnya seperti
seseorang menjual salah satu dari dua macam mata uang, yaitu mas dan perak
dengan yang sejenis atau bahan makanan sperti beras dengan beras, gabah dengan
gabah dan yang lainnya, maka diisyaratkan:
1) sama
nilainya (tamasul)
2) sama
ukurannya menurut syara’, baik timbangannya, takarannya maupun ukurannya,
3) Sama-sama
tunai (taqabuth) di majelis akad.
Berikut
ini yang termasuk riba pertukaran :
1) seseorang
menukarkan langsung uang kertas Rp 10.000,00 dengan uang recehan senilai Rp.
9.950,00, maka uang senilai Rp. 50,00 adalah riba.
2) Seseorang
meminjamkan uang sebanyak Rp. 100.000,00 dengan syarat dikembalikan ditambah 10
persen dari pokok pinjaman, maka 10 persen dai pokok pinjaman adalah riba sebab
tiak ada imbangnya
3) Seseorng
menukarkan seliter beras ketan dengan dua liter berasdog, maka pertukan
tersebut adalah riba sebab beras harus ditukar dengan beras sejenis dan tidak
boleh dilekan salah satunya. Jalan keluarnya ialah beras ketan dijual terlebih
dahulu dan uangnya digunakan untuk membeli beras dolog.
4) Seseorang
yang akan membangun rumah membeli batu bata, uangnya diserahkan tanggal 5
Desember 1996, sedangkan batu batanya diambil nanti ketika pembangunan rumah
dimulai, maka perbuatan itu adalah perbuatan riba sebab terlambat salah satunya
dan berpisah sebelum serah terima barang.
5) Seseorang
menukar 5 gram emas 22 karat dengan 5 gram emas 12 karat termasuk riba walaupun
sama ukurannya, tetapi berbeda nilai (harganya) atau menukar 5 gram emas 22
karat dengan 10 gram emas 12 karat yang harganya sama, juga termasuk riba sebab
walaupun harganya sama ukurannya tidak sama.
f. Dampak
riba pada ekonomi
Kini
riba yang dipinjamkan merupakan asas pengembangan harta pada
perusahaan-perusahaan. Itu berarti akan memusatkan harta pada penguasaan para
hartawan, padahal mereka hanya merupakan sebagian kecil dari seluruh anggota
masyarakat, daya beli mereka pada hasil-hasil produksi juga kecil. Pada waktu
yang bersamaan, pendapatan kaum buruh yang berupa upah atau yang lainnya juga
kecil. Maka, daya beli kebanyakan anggota masyarakat kecil pula.
Hal
ini merupakan masalah penting dalam ekonomi, yaitu siklus-siklus ekonomi. Hal
ini berulang kali terjadi. Siklus-siklus ekonomi yang berulang terjadi adalah
krisis ekonomi. Para ahli ekonomi berpendapat bahwa penyebab utama krisis
ekonomi adalah bunga dibayar sebagai peminjaman modal atau dengan singkat
disebut riba.[10]
Riba
dapat menimbulkan over produksi. Riba
membuat daya beli sebagian besar masyarakat lemah sehingga persediaan jasa dan
barang semakin tertimbun, akibatnya perusahaan macet karena produksinya tidak
laku, perusahaan mengurangi tenaga kerja untuk menghindari kerugian yang lebih
besar , dan mengakibatkan adanya sekian jumlah penggangguran.
g. Hikmah Dilarangnya
Riba
Hikmah diharamkannya riba yaitu:
1) Menghindari
tipu daya diantara sesama manusia.
2) Melindungi
harta sesama muslim agar tidak dimakan dengan batil.
3) Memotifasi
orang muslim untuk menginvestasi hartanya pada usaha-usaha yang bersih dari
penipuan, jauh dari apa saja yang dapat menimbulkan kesulitan dan kemarahan
diantara kaum muslimin.
4) Menutup seluruh
pintu bagi orang muslim.
5) Menjauhkan
orang muslim dari sesuatu yang menyebabkan kebinasaan karena pemakan riba
adalah orang yang zalim dan akibat kezaliman adalah kesusahan.
6) Membuka
pintu-pintu kebaikan di depan orang muslim agar ia mencari bekal untuk akhirat.
7) Rajin
mensyukuri nikmat Allah swt dengan cara memanfaatkan untuk kebaikan serta tidak
menyia-nyiakan nikmat tersebut.
8) Melakukan
praktik jual beli dan utang piutang secara baik menurut Islam.
BAB
III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan
penjelasan diatas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa pada intinya jual beli
itu adalah tukar menukar barang dengan barang yang lain dengan cara yang
tertentu (akad). Sedangkan Riba adalah salah satu usaha mencari rizeki dengan
cara yang tidak benar dan dibenci Allah swt. Praktik riba lebih mengutamakan
keuntungan diri sendiri dengan mengorbankan orang lain. Riba akan menyulitkan
hidup manusia, terutama mereka yang memerlukan pertolongan, menimbulkan
kesenjangan sosial yang semakin besar antara yang kaya dan miskin, serta dapat
mengurangi rasa kemanusiaan untuk rela membantu. Oleh karena itu Islam
mengharamkan riba.
B. Saran
Dari uraian makalah di atas, pemakalah menyadari bahwa
makalah ini belumlah sempurna, oleh karena itu pemateri mengharapkan kritik dan
saran yang membangun yang dapat menjadikan lebih baik untuk kedepannya.
Pemakalah sangat merasa senang sekali jika pembaca bersedia memberikan kririk
dan saran dari makalah ini.
[1] Yusuf
Alsubaily, Fiqh perbankan syariah:
Pengantar Fiqh Muamalah dan Aplikasinya dalam Ekonomi Modern, Alih Bahasa:
Erwandi Tarmizi, (TTp: Darul ilmi, t.th.), hlm.6.
[2] Zakaria
al-Anshari, Hasyiah Ibn Abidin, (Beurit: Dar el-fikr, t.th.),hlm 2-4.
[3] Ibid.
[4] Abdullah
bin Muhammad Ath-Thayyar, Loc. Cit.,
hlm.18.
[5] Ibnu
Qudamah, Al-Mughni, (beurit: Dar el Fikr, t.th.), juz VI, hlm. 381.
[6] Yusuf
al-Subaily, Loc. Cit., hlm.4-6
[7] Yusuf
al-Subaily, Loc. Cit., hlm. 15-16
[8] Ibid,
hlm.17.
[10] Sulaiman Rasyid, Ibid, hlm.261
Tidak ada komentar:
Posting Komentar